Selasa, 22 November 2011

ARTIKEL 1 (SUHARTONO)

FUNGSI INTERPERSONAL TUTURAN BERIMPLIKATUR PERCAKAPAN DALAM BAHASA INDONESIA LISAN INFORMAL

Suhartono
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni
Uninversitas Negeri Surabaya

Abstract: In informal spoken Indonesian utterances used by people in Mojokerto, conversational implicature is interesting to study because it is a specific linguistic and social fenomena. The focus of  the research is what the interpersonal functions are in informal spoken Indonesian utterances used by people in Mojokerto.To explain the focus, the researcher used descriptive-qualitative approach with communication ethnography design. Data are collected from 15 subjects using participant observation and indepth interview. Data are analized using Miles and Huberman’s flow model covering three steps: data reduction, data display, and verification/conclusion. The result shows that there are 5 interpersonal functions in informal spoken Indonesian utterances used by people in Mojokerto.

Keywords: implikatur percakapan, bahasa Indonesia lisan informal, fungsi interpersonal, masyarakat Mojokerto

Abstrak: Dalam ucapan-ucapan bahasa Indonesia informal yang  digunakan oleh orang-orang di Mojokerto, implikatur percakapan yang menarik untuk dikaji karena merupakan Fenomena linguistik dan sosial tertentu. Fokus penelitian adalah apa fungsi interpersonal dalam ucapan bahasa Indonesia informal yang digunakan oleh orang-orang di Mojokerto. Untuk menjelaskan fokus, peneliti menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dengan desain komunikasi etnografi. Data dikumpulkan dari 15 subyek dengan menggunakan observasi partisipan dan wawancara mendalam. Data dianalisis menggunakan Model Aliran Miles dan Huberman yang meliputi tiga langkah: reduksi data, menampilkan data, dan verifikasi/kesimpulan. Hasilnya menunjukkan bahwa ada 5 fungsi interpersonal dalam ucapan bahasa Indonesia informal yang digunakan oleh orang-orang di Mojokerto.

Kata kunci: implikatur percakapan, bahasa Indonesia lisan informal, fungsi interpersonal, Masyarakat Mojokerto.



PENDAHULUAN
Dalam berbahasa Indonesia (ber-BI) lisan informal di masyarakat Mojokerto, penyampaian maksud dilakukan melalui cara langsung dan tak langsung. Dalam cara langsung, maksud penutur (N) disampaikan secara eksplisit. Dalam cara tak langsung, maksud N disampaikan secara implisit, misalnya melalui implikatur percakapan (IP).
Penyampaian maksud implisit melalui IP memiliki fungsi interpersonal (FI) tertentu. Hal itu berdasarkan realitas bahwa penyampaian maksud dan keinginan N untuk membina hubungan baik dengan petutur (T) berkaitan erat. Keinginan N untuk membina hubungan baik dengan T merupakan substansi FI tuturan (Tt).

KERANGKA TEORI

Menurut Yule (1998:83), FI Tt terkait dengan aktivitas N dalam interaksi sosial untuk menciptakan hubungan sosial yang baik. Dari perspektif sosial FI bernilai positif yang mengisyaratkan N bertindak sesuai dengan nilai sosial.

Bertindak sesuai dengan nilai sosial mengisyaratkan tujuan ilokusi N  merepresentasikan nilai sosial dan tidak mengabaikan serta tidak menentang nilai sosial. Sesuai dengan klasifikasi Leech (1996:104—105) bahwa fungsi ilokusi  terdiri atas (1) kompetitif, (2) konvivial, (3) kolaboratif, dan (4) konfliktif; isyarat itu berkonsekuensi. Pertama,  hanya Tt  kompetitif—misalnya menasihati—dan konvivial—misalnya mengajak—yang ber-FI. Tt kompetitif mengisyaratkan ada persaingan antara tujuan ilokusi N dan nilai sosial, sedangkan Tt konvivial mengisyaratkan ada kesejalanan antara tujuan ilokusi N dan nilai sosial. Kedua, Tt kolaboratif—misalnya menyatakan—dan konfliktif—misalnya mengancam—secara otomatis tidak ber-FI. Tt kolaboratif mengisyaratkan tujuan ilokusi N mengabaikan nilai sosial, sedangkan Tt konfliktif mengisyaratkan tujuan ilokusi N bertentangan dengan nilai sosial.

Nilai sosial, menurut Goble (1994:150), terdiri atas nilai lama dan nilai baru. Nilai lama terdiri atas kebenaran, kebaikan, dan keindahan; sedangkan nilai baru atau nilai tambahan terdiri atas kegembiraan, keadilan, dan kebahagiaan. Dengan dasar itu, ada atau tidak FI dapat diidentifikasi dari ada atau tidak representasi nilai-nilai tersebut. Tt yang tidak merepresentasikan nilai sosial, misalnya karena tujuan ilokusi mengabaikan atau menentang nilai sosial, tidak ber-FI; sedangkan Tt yang merepresentasikan satu atau lebih nilai sosial ber-FI.


METODE PENELITIAN
Penelitian deskriptif kualitatif dengan rancangan etnografi komunikasi ini  dilakukan di Kabupaten dan Kota Mojokerto dengan subjek 15 orang yang dipilih dengan kriteria penduduk asli, normal fisik-psikis, dewasa, dan produktif/kreatif. Data dikumpulkan dengan teknik observasi partisipan dan wawancara mendalam. Analisis dilakukan dengan model alir Miles dan Huberman (1984:21—22): reduksi, penyajian data, dan penyimpulan.

HASIL PENELITIAN

Dalam Tt ber-IP terdapat lima FI. Berdasarkan nosi muka dan nosi ekonomi terdapat fungsi penghormatan dan fungsi solidaritas. Berdasarkan nosi pilihan terdapat fungsi persuasif dan konfirmatif simbiotis. Berdasarkan nosi “rute” komunikasi terdapat fungsi menambah keakraban.


Penghormatan
Menurut Yule (1998:66), tendensi penggunaan bentuk kesantunan negatif—menekankan hak kebebasan/independensi orang lain—merupakan FI penghormatan N terhadap T atau orang lain. Orang lain berupa orang yang “menyaksikan” komunikasi, dan orang yang dibicarakan. Yang menarik, tendensi itu tidak hanya berorientasi kepada T atau orang lain; tetapi juga kepada N. Secara teoretis, hal itu tidak lazim karena pada umumnya realisasi kesantunan diorientasikan kepada T atau orang lain, bukan kepada N. Akan tetapi, faktanya, kesantunan yang diorientasikan kepada N juga mungkin direalisasikan karena dalam situasi tertentu, N juga berharap orang lain menghargai hak kebebasannya. Dengan demikian, dilihat dari segi orientasi, FI penghormatan mencakup FI penghormatan kepada N, T, dan orang lain.

Penghormatan kepada N
Dalam interaksi sosial, menurut Yule (1996:61), orang ingin citra dirinya di mata publik (public self-image) dihormati atau sekurang-kurangnya tidak diganggu. Face wants—ingin dihormati/aman, menurut Maslow (Goble, 1994:73), merupakan  kebutuhan  dasar nonfisiologis universal. Kebutuhan itu, misalnya Tt Hy pada (1), direalisasikan dengan memproduksi Tt berorientasi menghormati N.

 (1)    Hy:  Cari buku kumpulan cerpennya Satya Graha Hoerip kok sulit, Pak.
Sh:   Dulu saya pernah baca di perpus UM. Tapi saya nggak tahu sekarang masih ada apa nggak.
Konteks: T ini dituturkan Hy ketika ia dan Sh sama-sama dalam perjalanan pulang dari kampus. Ia mendapatkan tugas dari seorang dosen sastra untuk menganalisis cerpen-cerpen Satya Graha Hoerip, sementara ia tidak memilikinya.

Tt Hy kompetitif karena konsekuensi Tt-nya membuat Sh mempunyai tugas baru yang tidak menguntungkan Sh. Hy sadar hal itu tidak sejalan dengan nilai sosial sehingga ia menyampaikan permohonan tidak langsung agar Sh mengusahakan diperolehnya kumpulan cerpen Satya Graha dan menggunakan strategi prasekuensi dengan  menyelamatkan muka jika respon Sh negatif. Penyelamatan muka itu dilakukan karena ia menjaga kehormatan diri. Dengan kata lain, jika respon Sh negatif mukanya tidak terancam karena melalui pengimplisitan tujuan ilokusi ia seolah-olah tidak membutuhkan kumpulan cerpen itu.
Realitas bahwa Hy seolah-olah tidak membutuhkan kumpulan cerpen tampak dari impersonalisasi. Ekspresi penghormatan dengan impersonalisasi mengesankan tidak ada pihak yang disebut (shared). Dalam Tt Hy pada (1), pihak yang tidak disebut adalah Hy.
Penghormatan kepada N dengan ciri (a) N menyampaikan tujuan ilokusi secara taklangsung, (b) tujuan ilokusi N impositif, (c) fungsi ilokusi Tt N kompetitif, dan (d) performansi Tt N impersonal juga tampak dalam Tt Ar pada (2). Perbedaannya terletak pada jenis Tt. Tt Hy deklaratif, sedangkan Tt Ar interogatif.

 (2)  Ar :  Ke terminal, Pak?
Md:  Ayo.
Konteks: T ini dituturkan oleh Ar, seorang dosen, saat melihat Md, seorang sopir, sedang menghidupkan mobil. Ar sudah selesai mengajar dan akan pulang. Ia tidak berkendaraan. Agar dapat sampai di rumah dengan cepat ia harus ke terminal lebih dulu karena mikrolet yang lewat dekat rumahnya ngetem (nge-time) di terminal tersebut.

Berbeda dengan Tt Hy dan Tt Ar yang jenis penghormatan N kepada dirinya berkategori personal atau tunggal, dalam Tt Ewa pada (3) penghormatan N kepada dirinya kolektif. Penghormatan diri kolektif mengisyaratkan N menghormati diri dan orang lain yang termasuk pronomina I jamak. Dalam hal ini, sesuai dengan konteks, persona-persona yang tercakup dalam orang pertama jamak adalah Ewa dan orang-orang yang memiliki kalender (pejabat struktural, tenaga administrasi, dan semua dosen di fakultas itu).

 (3) Ewa: Kalender bagus-bagus, Fif?
Fifi: Sudah banyak, Pak.
Konteks: Ewa, seorang dosen, dipercaya oleh atasannya untuk menjual kalender baru buatan fakultas. Fifi merupakan mahasiswa Ewa.

Di samping meminta tolong, seperti pada (1) dan (2), dan menawarkan, seperti  pada (3); tindak meminta maaf juga dapat merefleksikan penghormatan N terhadap diri sendiri. Hal itu sejalan dengan logika Yule (1996:62) bahwa tindak memberikan maaf merefleksikan penghormatan N kepada orang lain. Tindak meminta maaf yang merefleksikan bahwa melalui Tt-nya N menghormati diri terlihat pada Tt Jk dalam (4) dan Tt Tn dalam (5). Dalam Tt itu, secara taklangsung N tidak ingin disalahkan T karena meski ia salah—karena tidak segera berangkat—kesalahan itu beralasan.

 (4) Jk: Tadi mau berangkat ada tamu. Terus sholat dulu.
Konteks: T yang dituturkan di tempat parkir di suatu rumah sakit ini ditujukan kepada Sh yang sudah lama menantinya. Sebelumnya, Jk berjanji bahwa ia akan segera menyusul Sh yang berangkat lebih dulu. Keduanya akan membesuk orang sakit.

 (5)  Tn: Tadi ada tamu. Pak Catana. Nomer empat guru teladan.
Sh: Ndak apa-apa, Pak.
Konteks: Tn dan Sh akan ke Tuban. Semula disepakati bahwa keduanya akan berangkat pukul 8.00. Ternyata, Tn datang pukul 9.00.

Penghormatan kepada T
Untuk orientasi internal N menghormati mukanya dan untuk orientasi eksternal N menghormati T dan orang lain. Hal itu berarti kebutuhan N menciptakan rasa aman secara internal dan eksternal. Penciptaan rasa aman secara eksternal dimotivasi realitas bahwa N sadar bahwa rasa aman merupakan kebutuhan universal dan prinsip komunikasi bahwa N harus kooperatif agar peluang memeroleh respon yang sama lebih besar. Penciptaan rasa aman yang berorientasi eksternal dapat direalisasikan dengan menghormati hak kebebasan/independensi T. Teknis-nya, seperti dalam Tt Tn(1) pada (6), N memberikan informasi tentang hal yang biasanya dilakukan orang lain yang dapat juga atau sebaiknya dilakukan oleh T.

 (6) Tn(1): Orang-orang biasanya minta-minta.    Minta ini   
       minta itu.
       Sh: Ndak apa-apa, Pak, ya?
       Tn(2): Ndak apa-apa.
Konteks: Sh, Tn, dan beberapa orang lain tengah berkunjung ke rumah seorang paranormal. Sh baru sekali ke rumah paranormal tersebut, sedangkan Tn sudah berkali-kali. Orang-orang biasanya minta ini minta itu, sementara Sh tidak minta apa pun.

Pada (6), tindak Tn direktif karena Tn ingin Sh melakukan sesuatu. Akan tetapi, Sh tidak harus melakukan hal itu. Sh diberi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan hal yang biasa dilakukan orang-orang yang dimaksudkannya. Kebebasan yang diberikan Tn kepada Sh berkategori kebebasan yang lebih luas. Jika dilihat dari skala pilihan (Leech, 1996:123), kebebasan itu mengisyaratkan tingkat kemanasukaan Sh dalam memilih melakukan atau tidak melakukan sesuatu maksimal. 
Pemberian kebebasan kepada T untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu juga dilakukan EW pada (7). Perbedaannya ialah derajat kebebasannya terbatas karena kebebasan T dibatasi kebebasan orang lain, yakni orang yang ingin mengeluarkan mobil dari tempat parkir. Kebebasan terbatas berciri bobot pilihan antara melakukan dengan tidak melakukan sesuatu tidak sama. Pada (7), bobot pilihan untuk melakukan sesuatu lebih berat karena Mad tidak dapat secara leluasa memilih pilihan kedua. Mad dapat tidak memindahkan mobil, tetapi hal itu dapat menyebabkan mobil lain tidak dapat keluar. Karena itu, meski diberi kebebasan oleh EW untuk tidak memindahkan mobil, ia “harus” memindahkan mobil.

 (7)   EW: Pak Mad, ada mobil mau keluar.
Konteks:  T ini dituturkan EW di tempat parkir sebuah restoran yang penuh pengunjung. Mad, seorang sopir, memarkir mobilnya di tempat yang dapat menghalangi mobil lain yang akan keluar dari tempat parkir.

Di samping teknik memberikan informasi; untuk menghormati T, N juga dapat menggunakan teknik bertanya retoris, seperti pada Tt Jk dalam (8). Dalam (8), kebebasan yang diberikan JS terbatas karena bobot pilihan yang diberikan tidak sama. Dalam hal ini, bobot pilihan untuk melakukan sesuatu, yakni belajar, lebih berat.

 (8)   JS:   Mbak Opi nggak belajar?
Opi: (Mengemasi mainannya)
Konteks: Opi anak JS. Opi sibuk bermain-main, sementara waktu sudah masuk “jam belajar”.

Dengan dasar Tt EW dan JS dapat dinyatakan bahwa ketidakberimbangan bobot pilihan ditentukan oleh ada atau tidak benturan dengan kebebasan yang dimiliki orang lain dan kekuasaan relatif N terhadap T. Tt JS merupakan perintah kepada Opi karena terdapat kekuasaan relatif JS terhadap Opi. Dengan demikian, kebebasan yang diberikan JS kepada Opi terbatas karena secara tak langsung “mengharuskan” Opi belajar. Kebebasan terbatas itu meluas menjadi kebebasan lebih luas sejalan dengan makin minim kekuasaan relatif N terhadap T.
Penghormatan terhadap muka T dapat dilakukan dengan  memberikan independensi kepada T dan menyelamatkan muka T. Cara itu dapat digabungkan dengan teknik tidak menyalahkan secara langsung substansi Tt T yang menurut N salah. Seperti terlihat pada (9), Jk dalam Jk (1) menilai substansi Tt Sh dalam Sh (1) salah. Akan tetapi, Sh tidak perlu merasa terancam muka karena Jk tidak menyalahkannya secara langsung.

 (9) Sh(1): Itu tertangkap ya, Nurdin Mohd Top.
        Jk(1): Yang mirip.
        Sh(2): Tapi kemungkinan itu, agaknya. Mungkin
        ya. Tapi mirip juga saya pikir.
        Jk(2): Ya mungkin bagian jurnalistik dia akan mikir atau polisi tidak terlalu gegabah           untuk   ngrilisnya.
        Ar(1): Tapi proyek, itu, Pak.
        Sh(3): Iya, proyek besar.
        Jk(3): Nggak ngerti aku, rek.
        Ar(2): Ndak mungkin itu.
Konteks: JK, Sh, dan Ar sedang berbicara tentang Nurdin Moh Top, warga negara Malaysia yang menjadi buruan polisi karena diduga terlibat dalam berbagai kasus pengeboman di Indonesia.

Penghormatan terhadap muka T juga dapat direalisasikan dengan  mengorangkan orang (ngwongna wong). Dalam cara ini terdapat ciri (a) N merupakan “bawahan” T (T memiliki kekuasaan relatif terhadap N) dan (b) T  memiliki pilihan memberikan pertimbangan positif (persetujuan) atau negatif (penolakan). Seperti pada Tt Sisi dalam (10), Tt penghormatan terhadap T yang direalisasikan dengan ngwongna wong  tampak dalam tindak meminta izin.

 (10) Sisi: Pak, bukunya belum saya fotokopi. Pak Saha   nanti di rumah?
Saha: Kalau saya nggak ada, titipkan istri saja.
Konteks: Beberapa hari sebelum T ini dituturkan, Sisi meminjam buku Saha melalui Tn.

Dalam (10), dengan dasar realitas bahwa Sisi mahasiswi Saha, Sisi dapat dinilai sebagai “bawahan” Saha. Saha memiliki kekuasaan relatif terhadap Sisi karena Sisi peminjam buku Saha. Kepemilikan kekuasaan relatif itu mengisyaratkan Saha memiki kebebasan memilih pilihan yang diberikan Sisi. Dalam hal ini Saha memilih respon positif bersyarat karena (a) ia tidak yakin pada saat Sisi mengembalikan buku ia berada di rumah dan (b) buku itu dapat dititipkan kepada istrinya. 
Tt penghormatan dengan ngwongna wong juga dapat didahului konstituen yang menunjukkan permintaan maaf, seperti Tt An dalam (11). Dengan konstituen “penanda kesantunan” itu, tingkat kesantunan Tt An lebih tinggi.

(11) An: Maaf, Pak, kalau itu saya fotokopi dulu
               bagaimana?
 Sh: Ya, saya kira lebih baik.
Konteks: An menyerahkan hasil kerjanya kepada Sh di rumah Sh, tetapi ia belum memiliki arsipnya.

Penghormatan kepada Orang Lain

Seperti halnya N dan T, orang lain juga membutuhkan penghormatan citra diri atau rasa aman dari keterancaman muka. Orang lain itu dapat berposisi sebagai “penyaksi” komunikasi sehingga dapat mendengarkan bahwa dirinya objek tutur. Dalam (12); sebagai orang lain, Lk dapat mendengarkan bahwa dirinya objek tutur karena berada di dekat Md, EW, Hasa, dan Sh.


(12) Md: Mari, Pak. (sambil menunjuk nasi bungkus)
EW: Pak Hasa nggak mau daging.
Sh: Daging mateng nggak mau. Maunya malah yang mentah.
EW: Ada yang belum 17 tahun. (sambil menunjuk Lk)
Konteks: Lk tidak terlibat komunikasi karena sedang makan. Akan tetapi, ia mendengarkan  komunike karena ia seruang. Di antara lima orang yang ada, hanya Lk  yang belum menikah.

Fenomena lainnya ialah orang lain berada di dekat N dan T, tetapi N melakukan delisi atas atribut orang lain itu karena delisi dinilai lebih menghormati citra diri. Dalam (13), jawaban N hanya sebagian sehingga N melanggar maksim kuantitas. Orang lain dihadapkan pada pilihan melengkapi jawaban N agar komunikasi efektif atau diam dengan konsekuensi menanggung informasi yang disembunyikan N. Lk, yang merupakan orang-lain hadir, memilih pilihan pertama. Dengan demikian, ia menampilkan informasi yang hilang dalam Tt Jm.

(13) Sh: Dulu seangkatan? (sambil kemudian mengarahkan pandangan ke Lk)
Jm: Saya dua ribu.
Lk: Saya sembilan delapan.
Konteks: Sh dan Jm berbicara tentang kondisi studi S2 di Unesa. Seperti halnya Jm, Lk juga baru lulus S2 Unesa. Perbedaannya, Jm pada S2 bahasa Indonesia, sedangkan Lk matematika.

Komunikasi juga dapat tidak dihadiri orang lain. Karena itu, dalam komunikasi orang lain dapat berposisi sekadar objek tutur. Meski demikian, N perlu menghormati orang yang dibicarakannya. Dalam kaitan ini ada beberapa tipe Tt yang N menjadikan orang lain-absen sebagai objek tutur. Dalam (14), Tn memberikan penilaian bertendensi negatif terhadap Kifa, tetapi penilaian itu tidak mengancam muka Kifa karena disampaikan secara implisit. Keimplisitan itu mengisyaratkan ketidaklangsungan penyampaian tujuan ilokusi N. Jika dilihat dari skala ketidaklangsungan Leech (1996:123), Tt Tn santun meski berpenilaian negatif.  

 (14)Sn: Teman-teman saya itu ya Bu Lisa, Bu Rias, Bu Eny, Bu Kifa.
Sh: Bu Kifa yang cerewet itu.
Sn: Ya.
Tn: Tapi sudah seperti ibu-ibu, ya.
Konteks: Sn, Sh, dan Tn berbicara tentang teman-teman SPG Sn yang berkuliah bersama-sama. Di antara mereka, hanya Kifa yang performansinya lebih dari umurnya. Sh dan Tn kenal baik dengan mereka.

Di samping itu, seperti pada Tt Jm(2) dalam (15), N juga dapat menyertakan evidensi faktual ketika membicarakan orang lain-absen. Penyertaan itu menguatkan pernyataan N bahwa Tt-nya sejalan dengan maksim kualitas dan bukan untuk mengancam citra diri orang lain. Bahwa Tt itu tidak mengancam citra diri orang lain tampak dari realitas bahwa yang dialami Jumi wajar karena (a) kondisi studi di Universitas Sasa dipandang “kurang berpihak” kepada mahasiswa, (b) Hara merupakan Rektor Universitas Sasa yang kesibukan dinasnya di atas rata-rata dosen pembimbing, dan (c) Hara memiliki kekuasaan relatif terhadap Jumi sehingga dampak perilaku normatif Hara terhadap Jumi proporsional.

 (15)        Saha(1): Selain Pak Yu, siapa yang mbimbing Bu Jumi?
Jumi(1): Pak Hara.
Saha(2): Nggak sulit?
Jumi(2): Kita yang harus sabar. Wong saya besok
mau ujian pernah gagal itu karena Pak Hara berangkat ke Singgapur. Nggak  jadi.
Saha(3): Terus nilainya nggak sulit?
Jumi(3): Kalau di Universitas Sasa nggak mengharapkan nilai tinggi, Pak. Kuliahnya yang mesti mempeng. Tapi  nilainya alaah, alaah….
Konteks: Saha dan Jumi berbicara tentang kondisi studi S2 Jumi di Universitas Sasa. Hara merupakan Rektor Universitas Sasa.

Penghormatan kepada orang lain-absen juga dapat dilakukan dengan memberikan alasan. Dalam Tt Tn pada (16), Tn memberikan alasan tentang ketidakikutan Pala dalam acara di Jember.
(16) Sh: Pak Pala nggak ikut?
Tn: Ada acara, Pak.
Konteks: Tujuh orang, dua di antaranya Sh dan Tn, akan berangkat ke seorang paranormal di Jember. Pala biasanya ikut, tetapi kali ini tidak.

Pada Tt Tn dalam (17) berikut terdapat fenomena lain karena (a) status orang lain  jamak, yakni Pak Abda dan istri, dan (b) keduanya absen. Jika dilihat dari fungsi ilokusi Leech (1996:104), Tt Tn konfliktif karena bersubstansi tuduhan. Akan tetapi, kehormatan citra diri Pak Abda dan istri dijaga Tn dengan indikasi Tn memilih cara tak langsung dalam mengungkapkan tujuan ilokusi.

 (17) Sh: Gimana kepala sekolahnya, Pak?
Tn: Pak Abda punya kepentingan, Pak. Istrinya  itu.
Sb: Baru saja beli mobil.
Sh: Kotor juga, ya.
Konteks: Tn guru teladan tingkat kabupaten. Informasi bahwa sebagai hadiahnya ia akan diangkat sebagai kepala sekolah diketahui banyak orang, di antaranya Sh. Akan tetapi, proses pengurusannya sulit. Abda, atasan Tn, tidak proaktif karena memunyai calon lain.

Penghormatan kepada orang lain juga dapat dilakukan dengan mengorangkan orang. Dalam cara ini, terdapat ciri (a) N “bawahan” orang lain (orang lain memiliki kekuasaan relatif terhadap N) dan (b) orang lain memiliki pilihan memberikan pertimbangan positif (persetujuan) atau negatif (penolakan). Pada Tt Jaka (6) dalam (18), pilihan diberikan Jaka kepada Ara; dan sebagai atasan Jaka, Ara dapat memilih  memberikan persetujuan atau penolakan. Terlepas dari respon Ara, upaya Jaka meminta izin kepada Ara menunjukkan Jaka mengorangkan Ara. Usaha itu berbasis etika Jawa bahwa kepada orang lain, menurut Magnis-Suseno (1993:226), perlu direalisasikan sikap penunjang keselarasan.

 (18) Jaka(1): Habis ini pulang?
Saha(1): Ke sana saya, nanti. (menunjuk ke
selatan, ke arah rumah mertua Saha)
Jaka(2):  Maksudku itu kan, istrinya Pak Gaba, bu,
bu sapa sih jengene, mungkin temannya
ibu, itu kan sekarang opname di Sakinah. Itu kan teman saya. Sapa sih  jengene… Mbak Sus gitu lho. Nyonya Gaba. Dia itu  guru SD. Di Sumengko  atau di mana. Waktu Pak Saha ke sana
itu ia baru masuk rumah sakit. Sakinah.
Saha(2): Sakit apa?
Jaka(3): Apa itu….
Saha(3): Pak Jaka mau ke sana?
Jaka(4): Mau ke sana.
Saha(5): Sekarang ya?
Jaka(6): Saya ke Pak Ara dulu.…
Jaka(7): Teman kampung kadang-kadang itu
kayak sedulur gitu.
Saha(7): Dan hidup ini yang penting itu, Pak,
ternyata.
Konteks:  Saha diajak Jaka untuk membesuk Bu Sus yang dirawat di rumah sakit. Bu Sus merupakan teman kampung Jaka dan teman seprofesi ibu mertua Saha

Solidaritas
Fungsi solidaritas relevan dengan kesantunan positif. Fungsi ini, menurut Yule (1998:62), menekankan N dan T ingin hal yang sama. Fungsi solidaritas berorientasi eksternal dan internal. Orientasi eksternal terdiri atas orientasi kepada T dan orang lain. Orientasi internal dikategorikan sebagai orientasi unik karena jika dihubungkan dengan hakikat solidaritas, khas. Solidaritas, seperti dinyatakan Muhni (1999:33), adalah kohesi sosial individu terhadap kehidupan bersama. Hakikat itu mengisyaratkan solidaritas berorientasi eksternal. Dengan kata lain, secara teoretis tidak ada solidaritas yang berorientasi internal. Realitas bahwa terdapat solidaritas yang berorientasi internal unik. 

Solidaritas kepada Petutur
N dinilai bersolidaritas kepada T jika ingin T melakukan hal yang sama dengan yang dilakukannya. Solidaritas kepada T dapat direalisasikan dalam bentuk ajakan, seperti yang dilakukan Jaka(2) pada (19).

 (19) Jaka(1): Habis ini pulang?
Saha(1): Ke sana saya, nanti. (menunjuk ke
selatan, ke arah rumah mertua Saha)
Jaka(2): Maksudku itu kan, istrinya Pak Gab, bu,
bu sapa sih jengene, mungkin temannya
        ibu, itu kan sekarang opname di Sakinah.
Itu kan teman saya. Sapa sih jengene… Mbak Sus gitu lho. Nyonya Gaba. Dia itu guru SD. Di Sumengko atau di mana. Waktu pak Saha ke sana itu ia baru masuk rumah sakit. Sakinah.
Saha(2): Pak Jaka mau ke sana?
Jaka(3): Mau ke sana.
Saha(5): Sekarang ya?
Jaka(6): Saya ke Pak Ara dulu.
Konteks: Tt ini dituturkan di kampus tempat Saha dan Jaka bekerja. Saat penuturan, kegiatan akademik sudah berakhir. Sus merupakan bekas tetangga Jaka. Saha tidak kenal dengannya, tetapi ia merupakan teman mertua Saha.

Sebagai ajakan, Tt Tn(1) dalam (20) juga berciri (1) tindakan riil terjadi sesudah tindak tutur N dan (2) baik N maupun T terlibat dalam tindakan riil. Perbedaannya terletak pada motivasi yang mendasari ajakan. Motivasi T Jk(2) merealisasikan solidaritas sosial, motivasi Tt Tn(1) mencari hiburan.

 (20) Tn: Ada basar, Pak, nanti malam.
 Sh: Di mana?
 Tn: Mojosari.
 Sh: Basar apa?
 Tn: Produk pembangunan.
Konteks: Sh bermain ke rumah Tn. Tn, istri, dan ketiga anaknya menyukai tontonan. Mereka akan melihat basar tersebut.

Di samping nonmaterial, keuntungan T juga dapat bersifat material, seperti pada (21) dan (22).

 (21) Jk: Saya mau ke Dinoyo. Saya ambil helm   
        dulu nggak apa-apa, kan?
  Sh: Ya, Pak.
Konteks: Sh akan ke Sumengko, dekat Dinoyo. Orang tua Jk berdomisili di Dinoyo. Jika Jk ke Dinoyo, ia melewati Sumengko.

 (22) Jk: Ada jatah kok, Pak.
 Sh: Makasih. Betul, sudah kuenyang ini.  
  (pegang perut)
Konteks: Setiap ada ujian, dosen yang menjaga mahasiswa yang berujian diberi jatah makanan. Saat Tt dituturkan, Jk sedang mengambil jatahnya.

Pada (21) dan (22), Sh diuntungkan secara taklangsung karena mendapatkan sesuatu. Pada (21), Sh sama halnya dengan mendapatkan uang dari Jk karena dengan dibonceng ia tidak perlu mengeluarkan uang transportasi. Pada (22), Sh juga mendapatkan keuntungan karena akan memeroleh nasi. Akan tetapi, karena kenyang, Sh memberikan respon negatif. Tt Jk pada (23) santun karena memberikan peluang kepada T untuk memeroleh keuntungan.

Solidaritas kepada Orang Lain
Solidaritas eksternal tidak hanya diarahkan kepada T, tetapi juga orang lain. Substansinya ialah N dan orang lain terikat kebersamaan. Seperti dalam Tt Tn (2) pada (23), ketika menyampaikan maksud, (a) Tn memiliki kepentingan tertentu,       (b) anak-anak dan Tn terikat oleh kebersamaan, dan (c) ikatan itu menyebabkan Tn tidak dapat memberikan respon positif terhadap persilaan Sh.

 (23) Tn(1): Liburan nanti ke Surabaya.
 Sh: Mampir, Pak.
 Tn(2): Dengan anak-anak.
Konteks: Tn seorang guru. Tiap liburan semester ia biasanya mengajak murid-muridnya ke tempat wisata tertentu. Pada hari-hari tertentu Sh tinggal di Surabaya.

Solidaritas juga dapat ditunjukkan dalam bentuk pembelaan terhadap orang lain. Pada (24), Sn membela orang  yang mendapatkan ganti rugi.

 (24) Sn(1): Itu kemarin dapat bantuan sepuluh  
        juta. (Sn menunjuk lokasi sebuah rumah)
 Sh(1): Sepuluh? Rumahnya kan nggak laku  
 sepuluh, toh?
 Sn(2): Ya, ndak, ya mungkin ya dengan 
 isinya.
 Sh(2): Kan nggak mungkin ditempati lagi.
 Sn(3): Rencana kan nanti mungkin harus  
 ada bukti, “Endi duwike, saya tagih kalau
 gitu.”
Konteks: Sn bercerita bahwa seorang korban banjir yang rumahnya hanyut mendapat bantuan dari pemda sebesar sepuluh juta rupiah. Rumah tersebut terletak di depan rumah Sn.

Fenomena lain pada solidaritas kepada orang lain ialah orang lain hadir dalam  komunikasi, seperti pada Tt Gl dalam (25) berikut. Dalam (25) Saha mendengar dan mengetahui komunike dan  situasinya, tetapi tidak terlibat. Komunikasi monolog karena Sur tidak memberikan respon verbal.

   (25) Gl: Mas Saha mau lewat, Sur.
Konteks: Gl melihat Saha akan melewati suatu tempat yang di situ terdapat Sur.

Solidaritas kepada orang lain juga dapat direalisasikan dengan cara yang pemberi keuntungan bukan N, melainkan T; sebagaimana dalam Tn(1) pada (26).


 (26)Tn: Ke IV/b Pak Saba mungkin butuh banyak karya tulis, Pak.
Sh: Mbuat gitu sebenarnya kan nggak sulit toh, Pak.
Tn: Ya, untuk kita.
Konteks: Saba Kepala SD bergolongan IVa. Tn merupakan bawahannya yang sudah lulus S2.

Solidaritas Unik
Sifat umum solidaritas ialah melalui Tt-nya N ingin melibatkan T dan orang lain dalam kebersamaan. Akan tetapi, dalam komunikasi terdapat fenomena lain, yakni  melalui Tt-nya N ingin dilibatkan T dalam kebersamaan. Tt yang merepresentasikan solidaritas unik itu dapat dilihat pada Tt Jk(2) dalam (27).

 (27) Jk(1): Udah S3-nya?
Sh: Belum.
Jk(2): Ujian nanti kalau diajak aku mau ikut.
Konteks: Jk mengetahui Sh menempuh S3, tetapi Jk tidak mengetahui kondisi studi Sh.

Dalam (27), N ber-Tt bersyarat, yakni ada ajakan T. Jika persyaratan  tidak terpenuhi, Jk tidak ikut. Ketidakikutan dapat dipahami karena N sadar ada atau tidak ajakan T mengisyaratkan ada atau tidak solidaritas yang ditawarkan T kepada N. Solidaritas dalam kalimat terakhir itu mengisyaratkan kebersediaan T menerima keikutsertaan N. 
Solidaritas unik disertai penghormatan diri. Dengan demikian, dua jenis kesantunan—positif dan negatif—digabungkan.

Persuasif
FI persuasif juga mengandung keuntungan tertentu. Perbedaannya adalah keuntungan itu merupakan keuntungan bersyarat dan produk kerja T.  Perbedaan lainnya adalah Tt itu berorientasi eksternal dan khusus diarahkan kepada T,  dituturkan orang yang lebih tahu atau dari segi kekayaan pengalaman merupakan “upline” T, dan dituturkan N yang berikatan emosional positif terhadap T. FI itu direalisasikan N misalnya dalam tindak menasihati, seperti dalam Tt Jk(2) pada (28).

 (28) Sh(1): Memang anu kok, ya. Harus fokus  
        betul beli rumah itu.
  EW: Itu pun juga anu ya, Pak. Tuhan yang  
  mengatur.
  Sh(2): Gitu, ya. Sudah diatur.
  Jk(1): Tapi kalau njenengan fokus daftar  
  keinginannya gitu harus….
 Sh(3): (Memotong tuturan Jk) Untuk
  sementara tahun ini sana dulu (sambil  
  menunjuk arah Malang).
  Jk(2): Kalau njenengan ndak fokus ya  
  mungkin Tuhan ndak mberi jalan.
  Sh(4): Ya.
Konteks: Sh berdomisili di Mojokerto dengan tempat bekerja di Surabaya. Ia belum memunyai rumah. Sejauh ini ia berkos di Surabaya.

Jika dilihat dari ada atau tidak keharusan T melakukan kehendak N, nasihat berbeda dengan perintah. Perintah mengharuskan T merealisasikan kehendak N, sedangkan nasihat memberi T peluang tidak merealisasikannya. Dengan kata lain, T memiliki pilihan untuk memberikan respon negatif meski  menurut N tidak lebih baik. Terkait dengan Tt Jk(2) di depan, Sh memiliki pilihan  memfokuskan diri atau kebalikannya pada upaya pembelian rumah. Jika pilihan pertama dipilih, dalam pandangan Jk hal itu lebih baik. Kebalikannya, jika pilihan kedua dipilih, dalam pandangan Jk hal itu tidak lebih baik. Dalam kaitan itu, wajar  dalam menyikapi nasihat N, T memiliki pertimbangan tersendiri. Kuat atau lemah pertimbangan itu memengaruhi T dalam memilih pilihan.
Pemberian pilihan, menurut Leech (1996:123—127), dimaksudkan untuk menyantunkan atau mengurangi tingkat kekasaran Tt. Formulasinya adalah makin banyak pilihan yang diberikan kepada T, makin santun Tt. 
Kualitas nasihat yang diberikan N kepada T lebih tinggi jika disertai rasional, seperti dalam Tt EW(1) pada (29). Nasihat itu mengisyaratkan tiga hal. Pertama, keyakinan T terhadap kebenaran nasihat N lebih kuat karena tingkat kelogisannya tinggi. Kedua, bobot pilihan untuk merealisasikan nasihat N lebih kuat. Dengan kata lain, T sebaiknya meminimalkan pertimbangan pribadinya yang kontranasihat agar beban perealisasian nasihat N lebih ringan. Ketiga, kualitas FI persuasif lebih tinggi karena tingkat manfaatnya bagi T lebih besar. 

 (29) EW(1): Nanti periode ke depan orang-orang  
        Surabaya pada beli di luar kota.
  Sh(1): Gitu, ya.
  EW(2): Apalagi kalau besok tolnya sudah  
  jadi. Orang banyak yang ke luar Surabaya.
  Sh(2): Iya. Setengah jam ya perjalanan.  
  Nggak ada setengah jam perjalanan kalau tol.
  EW(3): Tol ya satu jaman. Pertimbangannya  
  banyak, ya, Pak. Pertimbangannya orang  milih   
  di luar Surabaya. Polusi, macet, biaya   hidup,…
 Jk(1): Kesehatan. Nilai kesehatan itu di  atasnya.
  EW(5): Dan yang paling kecil, terakhir itu, masa  
 depan.
 Jk(2): Makam.
Konteks: EW menawarkan rumah kepada Sh. Sh bekerja dan berencana tinggal di Surabaya. EW dan JK tinggal di Mojokerto meskipun tempat kerjanya di Surabaya.

FI persuasif juga dapat direalisasikan oleh N dalam tindak mendidik, seperti dalam Tt Ar(1) pada (30).

 (30) Ar(1): Wa alaikum salam.

 Sh: Assalammualikum.

 Ar(2): Wa alaikum salam.
Konteks: Sh memasuki ruang tanpa mengucapkan salam. Di ruang itu ada Ar dan EW yang beragama lain.

Dalam tindak mendidik N dapat memberikan contoh langsung agar T berpikir tentang yang seharusnya diucapkan/dilakukan. Akan tetapi, didikan itu tidak wajib direalisasikan T. Dengan kata lain, T dapat memilih merealisasikan atau tidak merealisasikan didikan N. Jika sependapat, T dapat merealisasikannya, seperti yang dilakukan Sh. Demikian juga logika kebalikannya.
FI persuasif tidak hanya berorientasi kepada T, tetapi juga orang lain. Pada (31), yang diingini Sn agar melakukan hal yang lebih baik (tidak mengebut) ialah Tn. Tn tidak berposisi sebagai T karena Tt Sn ditujukan kepada Sh.

 (31) Sn: Kalau buanter dicubit saja, Pak!
Konteks: T ini ditujukan kepada Sh yang saat itu dibonceng Tn. Tn biasa ngebut dalam bersepeda motor.

Konfirmatif Simbiotis

FI konfirmatif simbiotis menyangkut kontrak “pembagian” keuntungan nonmaterial. Kontrak itu direalisasikan jika hasil konfirmasi N terhadap T positif. Dalam menyampaikan kontraku, N ingin memenuhi kebutuhan dan menyadari setiap orang, seperti dinyatakan Goble (1994:61), tidak mau dirugikan. Untuk mengantisipasi  efek Tt-nya merugikan orang lain, N berkonfirmasi lebih dulu.

Tt yang ber-FI konfirmatif simbiotis berciri N bertanya konfirmatif, T memiliki pilihan dalam merespon pertanyaan konfirmatif N:pilihan positif dan negatif, dan N terbantu oleh respon positif T. Seperti pada Tt Ara(3) dalam (32), FI konfirmatif simbiotis bersifat mutualis jika realisasi konfirmasi positif T memberikan keuntungan nonmaterial kepada N dan T.


 (32) Ara(1): Pak Saha lewat SMS kemarin UT, ya?
 Saha(1): UT mau?
 Ara(2): Capnya di sini jelek, Pak.
 Saha(2): Kalau swasta?
Ara(3): Dengar-dengar sekarang akan ditutup semua. Kalau Unesa repot, Pak?
Saha(3): Ya birokrasinya itu.
Konteks: Saha “ditugasi” Ara untuk mencari perguruan tinggi yang bersedia membuka kelas jauh di Mojokerto. Melalui SMS, Saha menginformasikan bahwa UT mungkin bersedia. PTS banyak yang bersedia, tetapi Ara menginginkan PTN.

Fungsi konfirmatif simbiotis juga dapat bersifat lain. Jika realisasi konfirmasi positif T menguntungkan pihak tertentu, sementara pihak lain tidak dirugikan; fungsi konfirmatif simbiotisnya kamensalis, sepertipada Tt Tn(1) pada (33).

 (33) Tn(1): Berani naik dari jalan tol?
 Sh(1): Supaya nggak masuk ke terminal gitu-a.
 Tn(2): Ya.
 Sh(2): Saya biasa dari situ.
Konteks: Sh menumpang kendaraan Tn. Tn akan ke Mojokerto, sementara Sh akan ke Malang. Di depan mereka ada tol yang biasa digunakan untuk “tempat mengambil penumpang” bagi para sopir bus jurusan Malang. Jika harus mengantarkan Sh ke terminal, terjadi misefisiensi bagi Tn.

Sifat terakhir FI konfirmatif simbiotis ialah parasitis. Sifat itu muncul jika realisasi konfirmasi positif T menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain. Jika T tidak mau dirugikan, contohnya Hy dalam (34), hasil konfirmasinya negatif.


 (34) Hy: Apakah saya bisa titip buku ini ke Pak Sara,   
         Pak?
Sh: Aduh, saya itu jarang sekali ke kampus Surabaya. Itu pun tidak selalu ketemu Pak Sara.
Konteks: Sh dan Sara merupakan dosen di suatu universitas. Beberapa hari sebelumnya, Hy—mahasiswa universitas tersebut—meminjam buku kepada Pak Sara. Pak Sara biasanya di kampus induk di Surabaya dan jarang ke kampus kelas jauh tersebut.

Menambah Keakraban
Pemberian keuntungan kepada T atau orang lain juga dapat dilakukan dengan  berbasa-basi atau bergurau demi menambah keakraban. Keuntungan  T nonmaterial dalam bentuk hilangnya atau setidak-tidaknya mendekat jarak sosial N dan T sehingga tingkat kebebasan T dalam merespon lebih tinggi, tingkat formalitas komunikasi turun, dan ide personal terbuka untuk dikomunikasikan. Fungsi itu,  contohnya Tt Jk(1) pada (35), fatik yang berorientasi pada upaya membina hubungan sosial. Kedudukan substansi komunikasi tidak penting.

 (35) Jk(1): Itu ada dadar jagung, Pak.
 As: Silahkan, silahkan, Pak.
 Sh: Saya nggak bawa plastik kresek.
 Jk(2): Ini malah nemen ndlodoke.
Konteks: T ini dituturkan di Unsa Press. Jk sering membeli buku di tempat tersebut sehingga akrab dengan As, pegawai Unsa Press. Ketika T dituturkan, As sedang mengisi nota penjualan. Di sampingnya terdapat sepiring dadar jagung.

Pada Tt Jk(1), tujuan ilokusi N tampak aneh karena ia menyilakan T menikmati dadar jagung, sementara (a) dadar jagung itu bukan miliknya dan (b) pemiliknya berada di dekat N. Menawarkan bukan hak milik tidak lazim, apalagi pemiliknya  tidak melakukan hal itu.
Dalam kaitan ini, skala keterancaman muka tidak dapat dioperasikan karena Tt fatis tidak mengancam muka. Skala untung-rugi juga tidak dapat dioperasikan karena keuntungan yang diterima T atau orang lain nonmaterial. Skala pilihan pun tidak dapat dioperasikan karena Tt fatis tidak berkaitan dengan pemberian pilihan kepada T atau orang lain. Dalam Tt Jk(1), misalnya, Tt itu oleh N tidak diorientasikan agar T memakan dadar jagung, tetapi sekadar menambah keakraban.
Fungsi fatik juga dapat berbentuk berbalasan langsung. Dalam bentuk ini, Tt N langsung mendapatkan respon verbal T. Dengan demikian, hubungan antara Tt N dan respon verbal T tidak dipisahkan oleh sekuensi sisipan. Pada (36), Tt Sh(1) dan Tt En(1) merupakan sekuensi tanpa sisipan yang dimaksudkan untuk kepentingan fatis sehingga substansi Tt dapat diabaikan.

 (36) Sh(1): Pusing-pusing mau cari jamu, Bu.
 En(1): Gitu ya. Jamu kuat saja, Pak.
 Sh(2): Sudah kuat, kok.
 En(2): O, sudah kuat.

Konteks: Sh dan seorang temannya berkunjung ke rumah En. Di rumahnya, En berjualan jamu. Teman Sh bermaksud mengajak En untuk mengunjungi Pak EW.

SIMPULAN
Pengedepanan misi sosial dalam pemilihan strategi penyampaian IP  menempatkan N pada posisi selaras dengan situasi sosial dan kebaikan kepada orang lain. Kebaikan itu direalisasikan melalui Tt yang ber-FI (1) penghormatan, (2)  solidaritas, (3) persuasif, (4) konfirmatif simbiotis, dan (5) menambah keakraban.
FI memiliki ciri spesifik yang terkait dengan skala-skala pengukur kesantunan karena skala-skala itu merupakan dasar pengategorian FI. Skala pengukur kesantunan meliputi skala keterancaman muka, untung-rugi, pilihan, dan  ketaklangsungan.
Pengoperasian skala itu mengindikasikan tiga hal. Pertama, skala merupakan resep taklangsung tentang cara bersantun bahasa. Kedua, dalam menentukan santun atau tidak Tt, skala dapat dipilih. Ketiga, antarskala terpisah, tetapi relevan sehingga ketika dioperasikan secara bersamaan hasilnya sejalan.
Sistem kerja skala menunjukkan Tt yang santun diorientasikan untuk memberikan keuntungan kepada T atau orang lain. Keuntungan itu terdiri atas keuntungan material—diatur oleh skala untung-rugi—dan nonmaterial—diatur oleh skala keterancaman muka, pilihan, dan ketaklangsungan.

DAFTAR RUJUKAN

Goble, F. G. 1994. Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Terjemahan A. Supratinya. Yogyakarta: Kanisius.
Leech, G. 1996. Principles of Pragmatics. London: Longman.
Magnis-Suseno, F. 1993. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Miles, M. B. & Huberman, A. M.. 1984. Qualitative Data Analysis A Sourcebook of New Methods. London: Sage Publications.
Muhni, Dj. A. I. 1994. Moral & Religi Menurut Emile Durkheim & Henri Bergson. Yogyakarta: Kanisius.
Yule, G. 1998. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.

CLICK menuju DAFTAR ISI atau menuju ADI, bisa juga menuju AMBARA

Tecknorati Tag implikatur, bahasa indonesia lisan informal, unesa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar