Selasa, 22 November 2011

ARTIKEL 3 (Tutut Guntari)

MEMBACA NOVEL PEARL S. BUCK BUMI YANG SUBUR
DENGAN FEMINISME POSKOLONIAL

Tutut Guntari
SMPN 3 Tanjunganom, Nganjuk
  
Abstract: This study aimed at obtaining a description of the grammatical development of Bahasa Indonesia in East Java and the causes of development of the grammatical type. Therefore, this research was designed under a qualitative approach with the main data source in the form of discussion or the results of interviews with lecturers of grammar and lectures syllabus or lesson plans prepared by grammar lecturers of Bahasa Indonesia particularly the lecturers of syntax and morphology at state universities in East Java. The data were collected by methods of  recording, note taking and interview. The results showed that the grammar of Bahasa Indonesia developed in East Java was still a combination of different types of grammar. Grammatical development of Bahasa Indonesia in East Java was not directed and focused on one particular type of grammar, but more directed towards introducing various types of grammar that existed so that all types of grammar that could be chosen independently developed by students for students.

Keywords:     postcolonial feminist literary criticism, patriarchal
                     culture, resistance

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi dari perkembangan tata bahasa Bahasa Indonesia di Jawa Timur dan penyebab perkembangan jenis tata bahasa. Oleh karena itu, penelitian ini dirancang dengan pendekatan kualitatif dengan sumber data utama dalam bentuk diskusi atau hasil wawancara dengan dosen tata bahasa dan silabus atau rencana pelajaran yang disusun oleh dosen tata bahasa Bahasa Indonesia khususnya dosen sintaks dan morfologi di universitas negeri di Jawa Timur. Data dikumpulkan dengan metode perekaman, pencatatan dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tata bahasa Indonesia yang dikembangkan di Jawa Timur masih kombinasi dari berbagai jenis tata bahasa. Pengembangan tata bahasa  Indonesia di Jawa Timur ini tidak diarahkan dan terfokus pada satu jenis tertentu dari tata bahasa, tetapi lebih diarahkan kepada memperkenalkan berbagai jenis tata bahasa yang ada, sehingga semua jenis tata bahasa yang dapat dipilih secara independen dikembangkan oleh siswa untuk siswa.

Kata kunci: kritik sastra feminis postkolonial, patriarkal budaya, resistensi.
                            

PENDAHULUAN
Novel Pearl S. Buck The Good Earth (Bumi Yang Subur) yang terbit pada 1931—yang menyabet The Pulitzer Prize pada 1932, dan —adalah bagian pertama dari sebuah trilogy, dengan dua novel berikutnya Sons (1932) and A House Divided (1935). Novel yang mengantarkannya memberoleh The Nobel Prize for Literature pada 1938 ini (http://en.wikipedia.org/wiki/ The_Good_ Earth; diunduh  7 November 2009) mengisahkan suka duka kehidupan Wang Lung, seorang petani di China pada awal abad keduapuluh yang begitu mencintai tanah miliknya. Dalam Bumi Yang Subur ini dikisahkan liku-liku perjalanan hidup Wang Lung dari hidup melarat sebagai petani hingga akhirnya menjadi tuan tanah yang kaya raya.
Perjalanan suka-duka Wang Lung tak lepas dari peran seorang perempuan perkasa, yakni O-lan, isterinya—perempuan yang sebenarnya secara sosial-kultural telah dikonstruksi sebagai sosok yang dianggap tidak penting dalam budaya patriarkhi Cina. Sistem perbudakan terhadap perempuan, sebagai bentuk lain kolonialisme yang menindas perempuan dalam berbagai bidang—termasuk pemasungan kaki, pembatasan pendidikan, hak bersosialisasi, dan bahkan hak berbicara—dialami hampir sepanjang hayat oleh O-lan. O-lan terkesan diam dan menurut apa pun yang dikehendaki Wang Lung. Ternyata, “keterdiaman” dan “kebungkaman” O-lan inilah yang diam-diam menyedot perhatian kaum feminis, sehingga pada 2004 novel ini  kembali masuk daftar best seller ketika terpilih presenter televisi tersohor Oprah Winfrey untuk Oprah's Book Club. (http://en. wikipedia. org/wiki/The_Good_Earth; diunduh  7 November 2009). Dalam perspektif feminisme inilah novel ini menarik untuk dikaji dalam tulisan ini.
Dalam kajian ini penulis menggunakan kritik sastra feminisme pascakolonial, salah satu cabang kritik sastra feminisme yang pada dasarnya juga menggunakan asumsi-asumsi kritikus feminis, dengan pengkhususan ranah kajiannya. Kritik sastra feminis sendiri mengasumsikan, bahwa pengalaman kita tentang realitas tak terelakkan dipengaruhi oleh kategori seks dan gender (seperti perbedaan laki-laki dan perempuan, heteroseksual dan homoseksual, dan seterusnya), dan bahwa laki-laki (heteroseksual) telah lama menikmati kekuasaan sosial dominan atas perempuan. Mereka percaya bahwa pengarang, teks, dan pembaca dipengaruhi (biasanya secara negatif) oleh kekuatan-kekuatan “patriarkhi”. Karena itu, tugas kritikus adalah mengkaji (dan bahkan berupaya meng-konter) dampak budaya patriarkhi itu (http://members.aol.com/litpage/ theories. html).
Alasan pemilihan kritik sastra feminisme pascakolonial adalah bahwa budaya patriarkhi yang mengakar dalam kehidupan masyarakat Cina akibat kekaisaran yang berlangsung turun-temurun kemudian juga banyak diwarnaii dan bahkan diperkuat oleh adanya kolonialisme Jepang atas Cina pada 1930-an—saat mana Cina diperintah oleh Partai Nasionalis. Saat itu tak kurang dari 80.000 perempuan (dewasa dan anak-anak) diperkosa dan sebagian dimutilasi dan dibunuh (http://www. bookrags. com/studyguide-good-earth/char.html; diunduh 7 November 2009). [Dalam novel lain Memoirs of Geisha juga tampak bagaimana penjajahan patriarkhi terhadap perempuan telah dilakukan oleh para serdadu Jepang.] Kedudukan perempuan menjadi lemah dan dilemahkan sedemikian rupa sehingga mereka hanya semakin tertindas dan diperbudakkan di dalam masyarakat yang berbudaya patriakhi.

MENGADOPSI TEORI FEMINIS PASCAKOLONIAL
Wacana pascakolonialisme adalah wacana identitas dari “liyan”, bukan sesuatu yang selalu datang setelah kolonialisme. Wacana pascakolonialisme juga bukan berarti berakhirnya kolonialisme. Secara longgar, wacana pascakolonialisme berarti suatu perlawanan terhadap dominasi kolonialisme dan warisan-warisannya. Titik beratnya ada pada konsep penjajahan itu sendiri, dalam berbagai bentuknya. Dalam pandangan Chandra T. Mohanty (1991), sebagaimana canggihnya pendefinisian dan penggunaan istilah kolonialisme, ia adalah sebuah relasi dominasi struktural dan penindasan yang sering kali disertai kekerasan terhadap keanekaragaman subjek yang dibicarakan (Meij, 2009:43).
Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi (warisan) kolonialisme menjadi fokus penting  feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Terdapat suatu hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.
Meski Mohanty dalam bukunya Under the Western Eyes (1991; 2003) menekankan analisisnya terhadap diproduksinya terminologi “perempuan Dunia Ketiga” sebagai subjek monolitik dalam berbagai karya tulis feminis Barat, esensinya tetap berkisar pada ketertindasan atau keterjajahan perempuan. Analisisnya menelisik kaitan antara sejarah perjuangan perempuan dalam melawan rasis, kolonialisme, imperialisme, dan monopoli kapital. Perempuan [Dunia Ketiga] dikategorikan ke dalam istilah underdevelopment, penganut tradisi yang opresif, tingkat buta huruf yang tinggi, kemiskinan, kebungkaman, dan sebagainya. Dengan asumsi bahwa setting novel Bumi yang Subur di awal abad ke-duapuluh belum jauh berbeda dengan kondisi Dunia Ketiga hingga akhir abad duapuluh, teori feminisme pascakolonial Mohanty dipandang layak untuk diadopsi guna menganalisis sosok O-lan dalam Bumi yang Subur.
Secara metodologis, kajian ini berpijak pada kritik sastra feminis secara umum, yakni yang dikemukakan Culler (1983) bahwa kritik sastra feminis adalah “membaca sebagai perempuan”—kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan penting dalam makna dan perebutan makna karya sastra (Sugihastuti dan Suharto, 2002:7). Dalam konteks ini penulis (sebagai pembaca) akan berposisi sebagai perempuan dan memberikan keberpihakan pada perempuan. Secara spesifik, dengan mengadaptasi kerangka analisis Meij (2009:101-106), penulis akan menyelidiki bagaimana peran dan perjuangan O-lan sebagai perempuan dalam perbudakan, pernikahan, peran sebagai ibu dan penerus tradisi, poligami, dan kekerasan dalam rumahtangga. Selain itu, sejalan dengan fokus feminisme pascakolonial yang menggugat setiap penjajahan, penulis juga akan mengemukakan bagaimana perlawanan perempuan (O-lan) dengan diam terhadap ketertindasan atau keterjajahan yang dialaminya.
Untuk menyelidiki peran O-lan dalam berbagai fungsi itu, penulis menggunakan fragmen-fragmen dan kutipan-kutipan cerita dalam novel dimaksud, untuk diinterpretasikan. Dalam hal ini, penulis mencoba menghayati kehidupan dan sepak terjang O-lan, selaras dengan pendapat Darma (2007:88), bahwa penghayatan terhadap karya sastra adalah titik berat dalam studi sastra pada umumnya atau kritik sastra pada khususnya.

PEMBAHASAN
            Sebagaimana disinggung di atas, novel ini mengisyaratkan adanya warisan kolonialisme (penjajahan) terhadap perempuan, dan bahkan menunjukkan sebuah relasi dominasi struktural dan penindasan yang sering kali disertai kekerasan terhadap keanekaragaman perempuan. Dalam kajian ini penulis akan menelisik bagaimana kedudukan dan perjuangan O-lan dalam konteks perempuan sebagai budak, perempuan dalam pernikahan, perempuan sebagai ibu si penerus dan penjaga tradisi keluarga, perempuan dalam poligami dan kekerasan dalam rumah tangga, dan perempuan yang melawan diam.

Perempuan Sebagai Budak
Menurut berbagai catatan sejarah,masyarakat dalam tradisi Cina terutama terdiri dari empat kela: cendekiawan, petani, seniman, dan pedagang (Meij, 2009). Wang Lung adalah seorang petani yang amat mencintai tanahnya, ladangnya, gandum dan jagungnya. Seluruh hidupnya berkaitan dengan tanahnya itu, dan dia percaya bahwa tanah adalah sumber kebahagiaan. Semula ia hidup miskin bersama dengan ayahnya yang sudah tua. Bahkan minum teh pun dianggap sebagai kemewahan. Pagi itu Wang Lung akan menikah, maka sedikit pemborosan boleh lah. Ia membelanjakan uangnya dengan begitu irit dan hati-hati.

O-lan, calon isterinya, adalah seorang budak yang tidak cantik (Buck, hlm. 28) di rumah keluarga Hwang, seorang tuan tanah kaya yang rumahnya bak istana, namun anggota keluarganya tidak ada yang beres. Istrinya pengkonsumsi candu yang berat, putra-putranya suka selingkuh dengan para budaknya. Orang kaya pada jaman itu bisa membeli budak perempuan, yakni anak perempuan dari keluarga miskin. Karena anak perempuan pada jaman itu tidak dihargai sama sekali, maka sejak kecil dijual kepada orang kaya. Para budak itu (terutama yang cantik) harus melayani tuan tanah dan para putranya, sedang yang tidak cantik biasa bekerja keras di dapur atau di ladang. Wang Lung akan menebus calon istrinya dengan dua cincin perak dan sepasang subang perak sebagai tanda pertunangan. Ia memasuki rumah besar keluarga Hwang dengan takut-takut dan minder. Di sana ia diejek dan dibentak-bentak bahkan oleh penjaga pintu (Buck, hlm 21).

Di sini tampak bagaimana perempuan (miskin), termasuk O-lan, telah dijadikan budak yang harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat dalam rumah-tangga keluarga Hwang. Mereka tidak memiliki kebebasan untuk melakukan pekerjaan lain selain menjadi budak keluarga Hwang, bahkan kemiskinan telah menyebabkan mereka begitu tertindas dalam keluarga itu. Mereka menjadi budak bukan karena keinginan menjadi budak, melainkan kemiskinan orang tua dan konstruksi sosiallah yang menyeret mereka terpaksa menjalani pekerjaan itu. Dalam kondisi normal, siapakah yang mau menjual anak perempuannya untuk dijadikan budak? Jika bukan karena kelemahan orangtua mereka akibat kekuasaan keluarga Hwang yang mewarisi jiwa kolonialisme, adakah mereka sudi dijebloskan ke dalam dunia kerja yang sangat membatasi ruang geraknya?
Bahkan, selain budak dalam pekerjaan, banyak perempuan juga dijadikan budak nafsu bagi anak-anak laki-laki keluarga Hwang. Anak-anak Hwang memang doyan melampiaskan hasratnya pada perempuan-perempuan budak yang berada di rumahnya. Harkat dan perempuan budak tidak dihargai sama sekali, bahkan dianggap sebagai barang yang bisa dipakai sesuka hati anak-anak Hwang. Tentu saja, hal ini suatu penindasan yang disengaja, dan masuk di akal bahwa apa yang dilakukan anak-anak Hwang itu merupakan cara mereka untuk melanggengkan dominasinya terhadap perempuan.
Dalam hal ini, bagi laki-laki, libido seksual adalah bukti kejantanan dan kekuasaan. Laki-laki yang tak memiliki libido seksual bukanlah laki-laki jantan dan memiliki kekuasaan. Melampiaskan libido seksualnya terhadap perempuan adalah juga bukti kejantanan, kekuasaan, serta dominasi atas perempuan. Dan itu  membuktikan bahwa perbudakan seksual terhadap perempuan juga terjadi dalam novel ini. Di sisi perempuan, perbudakan seksual adalah suatu ketertindasan yang harus diterima akibat ketidakberdayaannya.
Kendati diceritakan bahwa O-lan tidak mengalami perbudakan seksual, dia jelas-jelas pernah menjadi budak di keluarga Hwang, dan karena itu posturnya jauh dari kriteria perempuan cantik. Parasnya jauh daripada cantik, kakinya juga tidak kecil karena diikat (begitulah adat bagi anak perempuan jaman itu) (Buck, hlm 26). Badannya kekar dan ia biasa bekerja keras. Meski tak berpendidikan, O-lan sangat bijaksana dan rela berkorban dalam hidupnya, suatu alasan mengapa dia juga bersedia dikirim orangtuanya untuk menjadi budak di keluarga Hwang.
Meski demikian, apa yang dialami O-lan juga menjelaskan adanya hubungan ketergantungan perempuan pada budaya patriarkhi yang dikekalkan oleh institusi ekonomi dan sosial. Ini tak ayal merupakan warisan kolonialisme, yang mencengkeramkan kekuasaanya terhadap dunia perempuan. O-lan dan perempuan budak tidak berkesempatan mengenyam pendidikan, ketercukupan ekonomi, kebebasan dalam kehidupan sosial dan bahkan nyaris tak berhak mendefinisikan identitas dan hidupnya sendiri. Selain itu, sebagai komunitas manusia miskin, O-lan dan perempuan budak telah sangat bergantung pada budaya patriarkhi yang melingkupinya. 

Perempuan dalam Pernikahan
Nilai budaya dalam masyarakat di mana mereka hidup mengatakan bahwa menikah merupakan sebuah nilai yang diyakini sebagai tahapan kehidupan yang harus dilalui. Perempuan pada usia tertentu dikondisikan untuk memiliki identitas sosial yang seragam, yakni menikah. Melalui pernikahan, perempuan diharapkan untuk meneruskan peradaban manusia, yakni menjalankan fungsi reproduksi untuk melahirkan anak. Selain itu, dalam ajaran agama, termasuk Konfusius, manusia diajarkan untuk dapat hidup berpasang-pasangan. Faktor lingkungan sekitar juga turut serta dalam membentuk persepsi perempuan tentang pernikahan (Meij, 2009:104).
Karena telah mencapai usia dewasa, O-lan bersedia dinikahi Wang Lung. Dengan pernikahan, dia berharap dapat menapaki tahapan kehidupan selanjutnya, tidak hanya terkungkung sebagai budak di keluarga Hwang. Pengalamannya menjadi budak di keluarga Hwang memberinya pelajaran bahwa menjadi budak, yang harus melakukan apa pun yang diperintahkan oleh majikan, tidaklah enak. Itu semacam belenggu yang seharusnya dipatahkan. Karena itulah, pinangan Wang Lung diterimanya dengan senang hati.
Pernikahan O-lan dengan Wang Lung mungkin suatu anugerah, setidaknya membuatnya keluar dari belenggu perbudakan keluarga Hwang. Namun, dalam perannya yang baru ini O-lan tampaknya merelakan diri sebagai “budak baru”—setidaknya mau melayani secara total—bagi hidup Wang Lung. O-lan mengikatkan diri pada “majikan” barunya, meski dia melakukannya dengan suka cita.
Mengapa demikian? Karena  terbiasa bekerja keras dan sudah berpengalaman jadi budak di keluarga Hwang, maka begitu mengikuti Wang Lung dan menjadi istrinya, O-Lan langsung mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga, dan membantu Wang Lung berladang. Ia benar-benar wanita pekerja keras, pintar memasak, tak banyak omong (pendiam malah) dan taat pada suaminya. Benar-benar tipe istri yang dibutuhkan oleh seorang petani yang miskin dan pekerja keras.
Dalam kondisi demikian, pernikahan bagi O-lan adalah sebuah pengabdian. Dia abdikan dirinya dalam kehidupan keluarga yang dikonstruksi oleh budaya patriarkhi, dan harus melakukan sederetan pekerjaan domestik seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah, dan melayani suami. Bukan itu saja. Dia juga sanggup membantu Wang Lung mengerjakan tugas-tugas non-domestik, yakni membantu Wang Lung menggarap lading pertaniannya. O-lan menemukan Wang Lung sebagai pasangan hidup yang cukup ideal, dan dengan Wang Lung-lah dia akan memiliki anak-anak.

Perempuan Sebagai Ibu: Penerus dan Penjaga Tradisi Keluarga
Tak lama kemudian O-Lan pun hamil, dan melahirkan putra pertama bagi Wang Lung (Buck, hlm 51), yang amat girang, sebagaimana orang Cina lain yang begitu gembira memperoleh anak laki-laki. Untuk melahirkan bayinya, O-Lan melakukannya sendiri tanpa bantuan siapapun. Wang Lung hanya berjanji akan membeli gula merah untuk minuman O-lan (Buck, hlm 53). Bahkan setelah beristirahat sebentar ia langsung kembali bekerja di ladang seperti tak ada kejadian besar apapun sebelumnya (Buck, hlm 54-55).
Di sini tampak bahwa keluarga patriarkhal sebagai unit dasar sebuah masyarakat. Salah satu oposisi biner yang dapat diidentifikasi dalam keluarga patriarkhal (termasuk keluarga Wang Lung) adalah tentang kelahiran anak. Kelahiran anak laki-laki disambut dengan suka ria, tidak demikian halnya dengan kelahiran seorang anak perempuan. Bahkan anak laki-laki merupakan pertanda “nasib baik” (Buck, hlm 55). Anak laki-laki diharapkan akan menjadi tiang keluarga, dan tidak demikian halnya dengan anak perempuan. Budaya patriarkhi menempatkan anak perempuan sebagai “liyan”.
Dengan kata lain, anak laki-laki dianggap sebagai keberuntungan dan anugerah. Sementara itu, anak perempuan dianggap suatu kekurangberuntungan, sehingga  orangtua tidak segan-segan menjual anak perempuan untuk menjadi budak tuan-tuan tanah seperti keluarga Hwang. Dengan demikian, Wang Lung sangat beruntung, karena dengan kehadiran anak laki-laki, dia merasa bangga dan berhak memiliki tiang keluarga yang menjadi penerus dan bakal menjaga garis keturuan keluarga kelak.
Penomorduaan terhadap anak perempuan tersebut tidak terlepas dari budaya Konfusius yang tidak memandang perempuan sebagai pribadi yang utuh. Inilah kekuatan tradisi dan religi, suatu kekuatan yang meminggirkan kedudukan perempuan. Perempuan dianggap inferior terhadap laki-laki, dan karenanya tidak berdaya dalam berhadapan dengan dominasi laki-laki dan budaya patriarchal pada umumnya.
Tak heran, dalam hal ini, O-lan mau tak mau dikondisikan untuk menjadi “ibu” (mother) bagi anak-anak Wang Lung dan isteri bagi Wang Lung sendiri. Identitas O-lan sebagai ibu telah dikonstruksi tidak saja oleh budaya patriarkhi melainkan juga oleh institusi negara. Perempuan yang ideal dalam tradisi Cina kala itu adalah “ibu” yang menopang pilar-pilar negara melalui wujud keluarga sejahtera. “Ibu” berfungsi sebagai penjaga keseimbangan dalam keluarga. Ia adalah seorang perempuan yang harus selalu siap untuk memberikan kasih sayang tanpa pamrih. Lebih lanjut, O-lan adalah perempuan yang wajib membesarkan dan mendidik anak-anaknya, serta sekaligus mendukung karir suaminya--(dengan upayanya sendiri) mendampingi Wang Lung menjalani bisnis pertaniannya dalam segala jatuh-bangunnya.
O-lan juga diposisikan sebagai wahana untuk meneruskan dan menjaga tradisi keluarga. Memang, menurut Meij (2009:81), tradisi dan budaya Cina telah memberikan hak istimewa kepada laki-laki sebagai pembawa nama dan kehormatan keluarga. Anak laki-laki adalah tiang dan pembawa bendera keluarga. Tiang berarti penyangga sebuah rumah, sebuah keluarga, dan dipundaknya harkat dan martabat keluarga dititipkan.  Namun, dalam praktiknya, perempuanlah yang bertugas meneruskan dan mempertahankan tradisi keluarga. Melalui perempuan, tradisi keluarga dipertahankan, dan nilai-nilai dalam tradisi keluarga itu diinternalisasikan terutama pada anak perempuan. Perempuan harus mengasuh anak-anak, mendidik mereka berbahasa, bersopan santun, belajar bekerja, dan sebagainya. O-lan ternyata mampu menjalani peran ini dengan baik.
Kebanggan menjaga harkat dan tradisi keluarga ditunjukkan oleh O-lan. Ternyata O –Lan punya impian terpendam. Ia ingin membawa anak laki-lakinya yang akan ia dandani dengan baik dan ia pamerkan ke rumah keluarga Hwang, untuk menunjukkan bahwa hidupnya sekarang telah makin makmur (pasti seperti itu juga keinginan kita kepada orang yang pernah mengejek dan merendahkan kita). Wang Lung pun membeli telur yang dicelup cairan warna merah untuk dibagi-bagikan kepada para tetangga, yang melambangkan bahwa ia baru memiliki anak laki-laki. O-lan tentu turut berbahagia dengan keadaan ini.
            Pada saat-saat bahagia itu O-lan mendorong Wang Lung selalu pergi ke kuil dan menancapkan dupa di depan patung Dewa Bumi, sambil berpikir alangkah besar kekuasaan Dewa itu yang telah memberinya rejeki yang berlimpah. Bahkan setahun kemudian, ketika keluarga Hwang mulai jatuh dan mereka menjual tanah-tanahnya, Wang Lung pun mengambil keputusan untuk membeli tanah itu. Wang Lung adalah petani yang cerdik. Ketika para tetangganya menghambur-hamburkan uang saat panen mereka berhasil, Wang Lung tetap hidup sederhana, dan menggunakan uangnya untuk berinvestasi (Buck, hlm 70-71). Kini ia, Wang Lung, mampu membeli tanah  keluarga  besar  yang  dulu  sangat ia  takuti  dan  segani. Wang  Lung   dan O-Lan begitu bahagia.
            Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Suatu kali datang kekeringan yang berkepanjangan hingga seluruh persediaan uang Wang Lung habis. Begitulah hidup petani, mereka amat bergantung pada kesuburan tanahnya. Air kering, sehingga tanamannya tak dapat air, dan merekapun kesulitan untuk minum. Tak ada toko yang menjual makanan, dan kalaupun ada, tak ada petani yang memiliki uang untuk membelinya, karena panenan mereka gagal dan tabungan mereka telah habis (Buck, hlm 89-91). Dan O-Lan kini mengandung anaknya yang ketiga. Dalam keadaan terpepet ketika mereka sudah berhari-hari tak makan, akhirnya mereka mencoba pindah ke kota di sebelah Selatan (Buck, hlm 105) dan mendirikan gubuk di pinggir jalan (Buck, hlm 129).
            Wang Lung menarik andong, sedang O-Lan dan putranya menjadi pengemis (Buck, hlm 133). Di sana mereka semua bisa makan kenyang. Tapi, uang yang didapat selalu habis untuk makan, sehingga kehidupan mereka hanya seperti itu saja dari hari ke hari. Yang miskin tetap miskin, dan kaya tetap dapat menikmati hidup di balik rumah gedongnya (Buck, hlm 150). Jurang yang selalu tampak, seperti di kota-kota besar di negara kita.
Akhirnya, Wang Lung mulai memikirkan kembali tanahnya (Buck, hlm 149), dan ia memutuskan untuk memboyong keluarganya kembali ke desa. Saat itu ada kejadian menghebohkan. Karena perang, sebuah keluarga kaya terpaksa meninggalkan rumah megahnya yang mirip istana, dan melarikan diri. Banyak orang miskin, termasuk Wang Lung dan O-Lan masuk ke rumah itu dan mengambil benda-benda berharga. Wang Lung mendapat beberapa keeping uang emas, dan O-Lan mendapat “segenggam penuh rencengan permata” (Buck, hlm 230) dan sepasang giwang mutiara yang amat ia sayangi bagaikan harta yang sangat berarti baginya.
Kembali ke kampung halaman, atas dorongan O-lan, Wang Lung mulai menggarap tanahnya kembali, dan bumi yang subur kembali memberikan kemakmuran pada keluarga Wang Lung. Karena kejeliannya, ia sedikit demi sedikit menjadi orang kaya raya, salah seorang tuan tanah sama seperti keluarga Hwang. Makin banyak tanah subur yang ia beli, makin berlimpah uang tabungan dari panennya. Ia dapat menyekolahkan putra-putranya, sedang putrinya bungsunya tinggal di rumah. Anak itu idiot karena kurang gizi ketika terjadi bencana kekeringan. Meski tak ada yang mempedulikan anak itu, Wang Lung dan istrinya mencintai dan memeliharanya dengan sepenuh hati.
Perempuan dalam Poligami dan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Ajaran Konfusius sangat mementingkan lahirnya anak laki-laki. Bila seorang isteri tidak dapatmelahirkan seoranganak laki-laki, suami sering merasa perlu untuk berpoligami atau mencari isteri kedua atau lebih agar dapat memperoleh keturunan anak laki-laki. Selain itu, Godaan untuk berpoligami, baik menikahi atau memiliki gundik dua atau lebih perempuan, juga terjadi ketika seorang laki-laki telah memiliki ketercukupan atau kelebihan harta dan pada saat sama menemukan pasangannya tidak menarik hati dan menyebalkan, serta sekaligus untuk menunjukkan bahwa dirinya masih memiliki kuasa tertentu bagi perempuan. Godaan berpoligami ini juga dialami oleh Wang Lung.
Memang hingga memiliki tiga orang anak, Wang Lung tak tahu apa-apa tentang menikmati hidup. Namun pada suatu hari ketika Wang Lung telah dapat menyerahkan pengerjaan sawah-sawahnya kepada pegawainya dan ia banyak menganggur, maka terlihatlah banyak kekurangan dalam hidupnya yang dulu tak ia sadari. Ia memandang istrinya, dan tiba-tiba sadar betapa jelek wajahnya, rambutnya yang kusut, kulitnya yang kasar, kakinya yang besar dan jelek, bajunya yang kusam.
Pendek kata semua anggota tubuhnya [O-lan] terlalu besar dan sedikit pun tak memiliki daya tarik. Alisnya berserakan ke mana-mana, rambutnya jarang dan tipis, bibirnya terlalu lebar, dan tangan dan kakinya pun padat dan besar seperti kaki gajah (Buck, hlm 228).

Tiba-tiba penampilan O-lan di mata Wang Lung sama sekali bukan perempuan yang disukai oleh laki-laki mana pun. Tiba-tiba ia muak melihat istrinya sendiri, yang telah memberinya banyak anak, yang mengikutinya dengan pasrah sewaktu miskin, dan yang mendampinginya bekerja keras selama ini. Istrinya hanya dapat menyembunyikan kakinya dan menatap Wang Lung dengan sorot mata pedih.
Jika dicermati, ulah Wang Lung itu tidak lain adalah sebuah kekerasan psikologis dalam rumah tangga. Dia menyebabkan O-lan tertekan dan tidak nyaman. O-lan menjadi serba salah, dan bahkan merasa rendah diri di hadapan suaminya sendiri. Dia merasa semakin tampak tak berharga di mata suaminya, orang yang kini, dengan atribut kekuasaan hartanya, telah menyisihkannya sebagai “liyan” (orang lain) yang perlu dijauhi. Wang Lung malah telah berdiri sebagai “penguasa” terhadap O-lan, setidaknya memiliki pilihan untuk melirik perempuan lain, akibat kesadarannya bahwa O-lan bukanlah wanita cantik yang diidamkan laki-laki pada umumnya—apalagi oleh laki-laki kaya. 
Dengan demikian, keinginan Wang Lung untuk melirik perempuan lain bukanlah semata mendapat pembenaran dari ajaran Konfusius, melainkan lebih karena dia menemukan bahwa O-lan tampak tidak lagi menarik baginya. Kehadiran anak laki-laki sekiranya cukup untuk meneruskan garis keturunan sebagaimana ajaran Konfusius. Namun, ternyata tidak demikian yang ditempuh Wang Lung. Wang Lung justru melihat bahwa O-lan memang pantas dipinggirkan.
Ketika dalam perdebatan Wang Lung marah dan O-lan malah tidak marah, Wang Lung mengenakan jubah hitamnya yang baru selesai dijahitkan O-lan tempo hari, sambil berkatana dengan nada jengkel, “Sudahlah, sekarang aku mau ke kedai minum dan melihat-lihat mungkin ada berita baru. Di rumahku tad ada siapa-siapa selain orang goblok, orang pikun, dan dua anak kecil.” (Buck, hlm 230).  Penyebutan “orang goblok” terhadap O-lan, isterinya, sebenarnya merupakan sebuah pelecehan dan penghinaan, meskipun O-lan memang bukan orang berpendidikan. O-lan dianggap “liyan” yang direndahkan, dan itu  berarti  juga  dipinggirkan  secara kasar dan menyakitkan.
            Peminggiran posisi O-lan di hati WangLung lebih tampak ketika Wang Lung akhirnya malu bila masuk ke kedai minum yang murahan. Ia mulai mencoba kedai minum baru untuk orang-orang kaya yang juga menyediakan wanita. Di sanalah ia bertemu Lotus, seorang perempuan penghibur yang cantik jelita, kulitnya mulus, tubuhnya ramping dan kakinya kecil mungil. Wang Lung pun semakin tergila-gila pada Lotus, dan sering menghabiskan malam di kedai minum di kota itu.
Ia [Wang Lung] datang mengunjungi perempuan itu [Lotus] dan memuaskan nafsu syahwatnya dan selalu kembali lagi, tapi ia selalu berlalu dari sana dengan rasa tak puas … karena itu sepanjang musim panas yang menggairahkan itu, Wang Lung dimabuk asmara dengan perempuan jalang itu. (Buck, hlm 248).

Kecantikan dan kejalangan Lotus telah membuat Wang Lung meminggirkan O-lan dari hatinya. Saat itu Lotus menjadi “sutradara kehidupan” Wang Lung, dan Wang Lung menemukan apa diharapkan laki-laki dari seorang perempuan dalam urusan seksual. Sementara itu, O-lan tidak punya bargaining position yang cukup untuk bersikeras mempertahankan Wang Lung, karena Wang Lung memang sudah menjatuhkan pilihannya: yakni tergila-gila pada Lotus, perempuan cantik dan jalang.
Wang Lung lalu menikahi Lotus sebagai istri keduanya, dan bahkan mengambil giwang mutiara yang amat disayangi O-Lan untuk diberikan kepada Lotus tanpa sepengetahuan O-lan. “Mutiara Cuma cocok buat perempuan berkulit halus dan mulus!” kata Wang Lung (Buck, hlm 255). Betapa pedih hati O-Lan, namun ia diam dan bungkam saja—bahkan dia tak menghapus air matanya yang menetes satu demi satu dari sudut matanya yang suram dan menyimpan penderitaan itu.
Poligami yang dijalani Wang Lung—dengan dua isterinya O-lan dan Lotus—sebenarnya sebuah tamparan telak bagi O-lan. Mana mungkin seorang isteri tidak merasa tersisihkan dan bahkan terhinakan ketika dia dimadu oleh suaminya? Akan tetapi, mana mungkin pula O-lan sebagai perempuan, menyatakan resistensi (perlawanan)-nya atas peristiwa poligami yang menghadangnya. Agaknya O-lan menyadari, kebiasaan poligami telah berjalan turun-temurun dalam masyarakat Cina, dan kebiasaan ini telah menciptakan pengetahuan, nilai-nilai, yang juga harus dianut oleh O-lan.
Memang poligami Wang Lung ditempuhnya di kala dia kaya, suatu momen yang secara finansial “membolehkan” dia berpoligami. Namun, poligami itu sendiri jelas memberikan dampak psikologis dan sosial terhadap O-lan—meski dia sendiri hanya bungkam dan tak menyatakan keluhan-keluhan tertentu. Begitulah tahun demi tahun berlalu dalam kehidupan Wang Lung yang rupanya sudah lupa pada keadaannya saat miskin dulu. Dewa-dewi yang dulu disembahnya, sekarang tak ia pedulikan lagi karena ia telah jadi tuan tanah yang kaya.
Apakah Wang Lung bahagia dengan poligami itu? Rupanya, baik dalam kemiskinan maupun kemewahan, yang namanya kesulitan dan konflik selalu datang silih berganti dalam hidup manusia. Wang Lung sadar dan menyesal atas kelakuan buruknya terhadap O-Lan, saat mana Lotus lama-kelamaan semakin tidak menarik dan bahkan tidak becus mengganti kedudukan O-lan dalam mengurus dan menyayangi anak-anak. Wang Lung sadar, bahwa Lotus yang semula dipuja-puja berkat kecantikannya, akhirnya hampir tak berarti apa-apa dibandingkan dengan integritas O-lan yang sempurna. Saat itu O-Lan menderita komplikasi beberapa penyakit, dan pada akhir hayatnya Wang Lung selalu bersikap baik pada O-lan.
            Dalam hal ini poligami justru menampar balik Wang Lung, justru ketika telah  menempati rumah besar bekas keluarga Hwang. Bayangannya untuk memperoleh kedamaian dengan berpoligami pun hancur berantakan. Dampaknya meluas dan mendalam, dan sekarang Wang Lung dipusingkan oleh anak-anaknya yang banyak ulah (Buck, hlm 444), para menantunya yang saling membenci, dan keluarga pamannya yang menggerogoti hartanya. Bahkan Lotus yang sudah mulai menua pun tak dapat menghiburnya—malah hanya dipenuhi kecemburuan terhadap Pear Blossom, gadis budak yang lembut.
Dengan demikian, poligami dan kekerasan dalam rumah tangga tidak bisa dipisahkan; poligami mampu memberikan dampak bagi keluarga O-lan sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga—dan secara khusus berdampak pada kehidupan keluarga dan O-lan sebagai individu yang [seharusnya] bebas dan menganut monogami. Poligami, ternyata, menjadi sumber malapetaka.
  
Perempuan yang Melawan dengan Diam
Penindasan terhadap seseorang lazimnya memperoleh perlawanan dalam bentuk yang berbeda-beda, ada yang melakukanya dengan kekuatan fisik, dengan kekuatan bicara, dan dengan diam. Masing-masing memiliki intensitasnya sendiri, dan demikian pula dampak yang ditimbulkannya. Dalam novel Bumi yang Subur O-lan memang mengalami ketertindasan budaya patriarkhi, dan dia melakukan perlawanan (tak sengaja) dengan diam.
Di balik ketertindasan yang dialaminya—yang seakan tidak dirasakannya—O-lan menjalani kisah-kisah hidupnya dengan tegar. O-lan berusaha tetap tegar dan menjalani tugas-tugasnya seperti biasanya sampai suatu hari maut datang menjemputnya. Dia kerjakan segala pekerjaan rumah-tangga, memasak, mengurus anak [waktu melahirkan dia membantu persalinannya sendiri], dan bahkan membantu Wang Lung menggarap tanah pertaniannya. Sebagai pribadi pendiam dan bijak, serta rela berkorban, O-lan telah mencurahkan cinta, waktu, tenaga dan pikirannya untuk kebaikan Wang Lung dan anak-anaknya. Dia mengerjakan pekerjaan domestik (rumah tangga) dan membantu karir Wang Lung di bidang pertanian. Meski dikritik tentang kakinya yang besar pun, ia tak banyak mendebat, dan lebih banyak diam. O-lan tidak memberikan reaksi keras—hanya memendam amarahnya.
Tapi perempuan itu [O-lan] tetap membisu, cuma memandang saja pada suaminya dengan pandangan lugu dan merendahkan diri…..dilihatnya isterinya tidak berani marah kepadanya, bahkan kelihatan semakin takut…(Buck, hlm 229-230).

Reaksi diam dengan “pandangan lugu” dan “merendahkan diri” menunjukkan sikap O-lan yang tidak menyukai kekerasan dan lebih mencintai kedamaian. Melawan api tidak harus dengan api; api justru mesti disiram dengan air agar tidak menjalar kemana-mana, dan jika mungkin, menjadi padam. Dengan reaksi tidak marah saja Wang Lung memuncak amarahnya, apa lagi jika reaksi O-lan penuh kemarahan. Maka, meski terkesan takut, O-lan sebenarnya telah berupaya memadamkan apa amarah yang sedang membara di benak dan hati Wang Lung—dan ini adalah sebuah perlawanan  tersendiri, yang mungkin tak disadarinya.
Dengan demikian, keterdiaman O-lan tanpa disadarinya adalah sebuah perlawanan tak langsung, terutama semenjak dia mengetahui telah dipandang rendah oleh Wang Lung sebagai perempuan yang tak menarik lagi.
Tapi perempuan itu [O-lan] juga merasa bahwa suaminya kini tengah berusaha menjauhinya dan menjauhi tanahnya sendiri, demi menjalani kehidupan yang dipilihnya, tapi yang ia sendiri tak tahu kehidupan apa sebenarnya itu (Buck, hlm 253).

Ketika sering ditinggal Wang Lung pergi menemui Lotus, dan bahkan ketika berinisiatif menikahi Lotus pun dengan meminta O-lan untuk memberikan mutiara-mutiara miliknya untuk diberikan kepada Lotus, O-lan tidak memberikan perlawanan yang demonstratif, melainkan hanya dengan diam dan bungkam dan menangis…
Tapi O-lan kembali pada pekerjaannya, dan begitu butir-butir air matanya menetes satu demi satu dari sudut matanya yang suram dan menyimpan penderitaan itu, ia sama sekali tak berusaha mengusapnya dengan tangannya; ia cuma memperkeras pukulan tongkat kayunya pada pakaian-pakaian yang terbentang di atas batu di hadapannya (Buck, hlm 255).

“Menangis”, di mata laki-laki, memang sebuah tanda kelemahan, kecengengan, dan ketidakberdayaan. Akan tetapi, bagi perempuan, selain untuk mengekspresikan kesedihan dan/atau bahkan kebahagiaan, “menangis” bisa berfungsi sebagai senjata—yakni senjata untuk meluluhkan hati orang yang dihadapinya. Di balik isak tangis perempuan tersimpan sejuta misteri yang seharusnya dipahami oleh orang yang menghadapinya. Terlebih, dalam hal ini, tangisan O-lan diiringi ulahnya dengan “memperkeras pukulan tongkat kayunya pada pakaian-pakaian yang terbentang di atas batu di hadapannya.” Setidaknya, Wang Lung mesti memahami bahwa O-lan sedang jengkel dan marah akibat dimintanya mutiara-mutiara itu untuk diberikan kepada Lotus. Namun, sayang sekali, Wang Lung tidak menangkap pesan tangis O-lan. 
Singkat kata, O-lan tidak melakukan pembalasan tertentu yang frontal terhadap kelakuan-kelakuan Wang Lung yang justru menjerat dirinya sendiri ke dalam lingkaran setan permasalahan hidup. Dari berbagai sikap yang ditunjukkan O-lan, bisa digarisbawahi, bahwa O-lan malah bertindak seperti sehamparan lautan, yang mampu menelan segala sampah dan kotoran, namun sekaligus juga mengandung kekuatan yang amat dahsyat.
Dan perlawanan diam ini terbukti di kemudian hari; bahwa keterdiaman O-lan justru mampu menaklukkan Wang Lung kembali. Terlebih karena akhirnya Lotus tak mampu bersikap baik dan saying terhadap anak-anak, berlawanan dengan apa yang dapat dilakukan O-lan, Wang Lung sadar dan menyesal atas kelakuan buruknya terhadap O-Lan. Saat itu O-Lan menderita komplikasi beberapa penyakit, dan pada akhir hayatnya Wang Lung selalu bersikap baik pada O-lan—bahkan selalu mendampingi O-lan pada hari-hari terakhir menjelang kematiannya. O-lan menemukan kembali mutiara hati yang hilang.

PENUTUP
Kajian ini telah memaparkan bagaimana budaya patriarkhi, yang disokong keberadaannya dengan warisan kolonialisme, memposisikan perempuan—dalam hal ini O-lan—sebagai pihak subordinat dan inferior. O-lan sebagai perempuan budak bagi keluarga Hwang menunjukkan ketidakberdayaannya. Dalam pernikahan, O-lan juga harus mengabdikan dirinya pada domestisitas dan tradisi keluarga yang sejalan dengan kehendak Wang Lung, dan sekaligus mampu berperan sebagai ibu si penerus dan penjaga tradisi keluarga. Selain itu,  O-lan sebagai perempuan juga harus menghadapi kasus poligami dan kekerasan (psikologis) dalam rumah tangga yang dilakukan Wang Lung terhadapnya. Terhadap berbagai dominasi penjajahan yang menguasainya, O-lan sebagai perempuan ternyata hanya melawan dengan diam—suatu perlawanan minimal namun memberikan dampak cukup dahsyat.
Demikianlah, O-lan adalah sosok perempuan yang tipikal masyarakat Cina di mana setting novel Bumi yang Subur diambil—yakni perempuan yang mau tak mau harus tunduk terhadap kekuatan budaya patriarkhi, bukan perempuan yang secara mandiri menentukan nasibnya sendiri, dan bukan perempuan yang menjadi “sutradara kehidupan” bagi dirinya dan lingkungannya. Konstruksi sosial-budaya dan religi telah membentuknya demikian.

DAFTAR RUJUKAN
Buck, Pearl S. 2008. The Good Earth (Bumi yang Subur). (Terjemahan Irina M. Susetyo). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Darma, Budi. 2007. Bahasa, Sastra, dan Budi Darma. Surabaya: JP Books.
Luxemburg. 1986. Tentang Sastera. (terjemahan Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia
Meij, Lim Sing. 2009. Ruang Sosial Baru Perempuan Tionghoa, Sebuah Kajian Pascakolonial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nafsin, Abd. Karim dan Mifta L. Afiandani. 2005. Perempuan Sutradara Kehidupan. Mojokerto: Al-Hikmah
Sugihastuti dan Suharto. 2002. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suroso, Puji Santosa, &Pardi Suratno. 2009. Kritik Sastra: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Alamatera.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. (Terjemahan Melani Budianta). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
http://bukufanda.blogspot. Com /2009 /10/ bumi- yang- subur.html; retrieved 7  November 2009.




CLICK menuju DAFTAR ISI atau menuju ADI, bisa juga menuju AMBARA

Technorati Tag   postcolonial feminist literary criticism, patriarchal culture, resistance, kritik sastra feminis poskolonial, patriakal budaya, resistensi

1 komentar: