Selasa, 22 November 2011

ARTIKEL 6 (Amrin Batubara)

Refleksi Budaya dan Retorika
dalam Upaya Membangun Karakter Bangsa

Amrin Batubara
Fakultas Bahasa dan Sains Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Abstract: This article aims to explain the degradation of social and cultural conditions and the deterioration of national character as well as efforts to build a strong character through the reflection of the nation's culture and rhetoric. By having the nation's cultural awareness and the mastery of rhetoric of good practice, the Indonesian people will be able to perform cultural dialogues with  cultures  that come  from outside. With the ability to practice the rhetoric of excellence in various dialogues, the Indonesian people will be able to pick and choose elements of foreign cultures that can enrich our own culture. With awareness and understanding of their own culture, people will avoid the possibility of taking for granted another culture without the selection process, or rejecting it a priori. With awareness and understanding of Indonesian culture, the spirit of patriotism will be able to bring Indonesia into a developing Indonesia, fair and prosperous Indonesia and stay in the national character. Reviving the spirit of patriotism should be our common endeavor, because basically everyone wants his life meaningful, and bring  grace to the community at large. Whisper of the heart of it all is to embody the spirit of patriotism and thus our nation will become a nation that has a noble spirit and strong character.

Keyword: national character, culture, rhetoric, reflection, patriotism

Abstrak: Artikel ini bertujuan untuk memaparkan degradasi kondisi sosial budaya dan keterpurukan karakter bangsa serta upaya untuk membangun karakter bangsa yang kuat melalui refleksi budaya dan Retorika. Dengan memiliki kesadaran dan pemahaman budaya bangsa dan penguasaan praktek Retorika yang baik, bangsa Indonesia akan mampu melakukan dialog kebudayaan bangsanya dengan budaya yang datang dari luar. Dengan kemampuan praktek retorika yang prima dalam berbagai dialog, masyarakat akan dapat memilah dan memilih unsur budaya luar yang dapat memperkaya budaya sendiri. Dengan kesadaran dan pemahaman budaya sendiri, masyarakat akan terhindar dari kemungkinan menerima begitu saja budaya lain tanpa proses seleksi, atau menolaknya secara apriori. Dengan kesadaran dan pemahaman budaya Indonesia, semangat patriotisme akan dapat mengantar Indonesia menjadi Indonesia yang maju, adil dan sejahtera dan tetap berkarakter Indonesia. Membangkitkan kembali semangat patriotisme perlu menjadi ikhtiar kita bersama, karena pada dasarnya semua orang dalam lubuk  hatinya  yang  paling dalam ingin hidupnya berarti, bermakna, membawa rahmat bagi masyarakat luas. Itu semua adalah bisikan hati untuk mewujudkan semangat patriotisme dan dengan demikian bangsa kita akan menjadi bangsa yang memiliki akhlak yang mulia dan karakter yang kuat.

Kata kunci: karakter bangsa, budaya, retorika, renungan, patriotisme.



PENDAHULUAN
Dalam era globalisasi sekarang ini, yang melintas bebas dari satu negara ke negara lain tidak saja produk, jasa, dan dana, namun juga budaya bangsabangsa. Dengan memiliki kesadaran dan pemahaman budaya bangsa serta kemampuan praktek retorika yang prima dalam berbagai dialog, masyarakat akan dapat memilah dan memilih unsur budaya luar yang dapat memperkaya budaya sendiri. Dengan kesadaran dan pemahaman budaya sendiri, masyarakat akan terhindar dari kemungkinan menerima begitu saja budaya lain tanpa proses seleksi, atau menolaknya secara apriori. Dengan kesadaran dan pemahaman budaya Indonesia, semangat patriotisme akan dapat mengantar Indonesia menjadi Indonesia yang maju, adil dan sejahtera dan tetap berkarakter Indonesia.
Merenungkan perkembangan kehidupan manusia dalam  kebudayaan dan Retorika dewasa ini menjadi relevan.  Refleksi perkembangan budaya dan Retorika tersebut serta pengaruhnya terhadap suasana kehidupan manusia di dunia sekarang ini dan tantangan tantangan yang ditimbulkannya bagi masyarakat Indonesia dan bagaimana  sebaiknya kita menanggapi tantangan tersebut sangatlah kita butuhkan saat ini dalam rangka merestorasi dan membangun karakter bangsa Indonesia.

MANUSIA DAN KEBUDAYAAN
Salah satu aspek yang membedakan kehidupan manusia dengan makhluk lainnya adalah kebudayaan. Ummat manusia hidup dalam budaya yang unik dan khas yang mencerminkan ciri-ciri setiap kelompok masyarakat yang hidup di dalam suatu wilayah.
Para pakar mengemukakan berbagai definisi tentang kebudayaan sebagai berikut. Menurut Koentjaraningrat (2003:1-5) kebudayaan dapat dipahami sebagai  totalitas dari pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan oleh karena itu, kebudayaan  hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar. Menurut pemahaman ini kebudayaan terdiri dari tujuh unsur, yaitu: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem teknologi dan peralatan. Definisi kebudayaan ini mencakup lingkup yang sangat luas. Dalam definisi ini, sistem pengetahuan dan teknologi adalah bagian kebudayaan.
Disamping itu kita dapat menyaksikan bahwa ada tiga wujud kebudayaan itu, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ideide, gagasan, nilainilai, normanorma, dan peraturanperaturan; wujud kebudayaan sebagai kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan wujud kebudayaan sebagai bendabenda hasil karya manusia.
 Sementara itu Hopstede (2005:7) mendefinisiskan kebudayaan itu sebagai  motif, tatanilai, kepercayaan bersama, dan makna atau interpretasi dari suatu peristiwa yang merupakan hasil dari pengalaman bersama dari anggota suatu kelompok yang dialihkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Dalam pemahaman ini  tata nilai ditempatkan sebagai inti dari budaya.
Dalam definisi-definisi tersebut diatas, nilainilai selalu dipandang sebagai bagian penting dari kebudayaan. Nilai-nilai ini menjadi acuan bertingkah laku dalam suatu masyarakat.
Berkaitan dengan sistem nilai ini, kita menemukan berbagai klasifikasi yang dikemukakan berbagai ahli kebudayaan. Menurut Edward Spranger dalam Alisjahbana dkk. (1991:6-8)  nilainilai dapat diklasifikasikan menjadi enam jenis, yaitu nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetik, nilai kuasa, nilai solidaritas, dan nilai agama.
Sementara itu, Sutan Takdir Alisyahbana (1991: 6-9) mengklasifikasi kan masyakat dengan nilai teori dan nilai ekonomi yang kuat sebagai kebudayaan progresif, dan kebudayaan yang sangat menghargai perasaan, intuisi, dan imajinasi sebagai masyarakat ekspresif.
Budaya dapat juga dimaknai sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk sosial menjadi penghasil sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan; akan tetapi juga dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan yang telah dihasilkannya.
Berdasarkan pemahaman di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa ketika kehidupan manusia terus berkembang, maka yang berkembang sesungguhnya adalah kebudayaannya yang tercermin dalam sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni. Salah satu usaha untuk mengembangkan kebudayaan tersebut adalah pendidikan yang merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi budaya peserta didik, sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang.
Unsur kebudayaan yang membuat manusia benarbenar berbeda dari makhlukmakhluk lain adalah konsep ‘kebajikan’ (virtues).  Menurut Patterson dan Seligman (2004:13, 29-30), kebajikan adalah karakteristik utama yang sangat dihargai oleh para filosof moral dan pemikirpemikir besar agama. Menurut hasil penelitiannya tentang agamaagama dan kebudayaan yang sangat berpengaruh di muka bumi ini, ada enam dimensi kebajikan yang bersifat universal, yaitu: transendensi,  kemanusiaan, kearifan dan pengetahuan, keadilan,  keberanian, dan pembatasan diri.
Apabila kebajikan-kebajikan tersebut diatas dijalankan dan dikembangkan dengan sungguh-sungguh  sehingga menjadi budaya dan kebiasaan dalam kehidupan keseharian setiap individu suatu bangsa, maka kebajikan-kebajikan tersebut akan menjadi karakter dari setiap individu dari bangsa tersebut yang dapat menjadi landasan dan sarana untuk menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat luas dan menghindarkan kemungkinan perkembangan kebudayaan bangsa yang membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia.
Ciri khas dari masyarakat yang hidup di kotakota besar dalam era globalisasi ini diantaranya adalah, secara tidak langsung  mereka bergaul dengan orangorang dari seluruh dunia, dan salah satu jembatan untuk pergaulan dunia ini adalah layar televisi, disamping internet bagi mereka yang terlatih memakainya. Aliran informasi yang beragam melalui layar televisi dan internet tersebut sangat sarat muatan nilainilai budaya yang berasal dari bagian dunia yang lain, dan sebagian dari nilainilai itu mungkin sekali asing bagi orangorang yang menerimanya, dan bahkan kadangkadang dirasakan bertentangan, sehingga dunia yang tanpa batas secara tidak disadari telah menimbulkan tarikan keberbagai arah dalam hal tata nilai budaya.
Disamping itu, kemajuan teknologi, khususnya teknologi komunikasi dan informasi juga telah menyebabkan interaksi antar budaya yang makin intensif. Dalam interaksi ini akan terjadi proses saling mempengaruhi. Budaya yang kuat dan dikomunikasikan secara efektif akan menembus dan melarutkan budaya lain yang kurang kuat dan tidak terkomunikasikan dengan baik. Dalam era dunia tanpa batas ini ada risiko suatu kelompok akan terseret budaya lain dan kehilangan identitas budayanya sehingga melemahkan karakter kelompok tersebut.
                          
KEBUDAYAAN DAN RETORIKA
Dalam kaitannya permasalah yang dikemukakan diatas perlu melakukan refleksi budaya dan Retorika dalam kehidupan sosial manusia. Budaya atau kebudayaan atau ‘culture’ dalam bahasa Inggris mencakup ruang lingkup yang luas dan didefinisikan beragam oleh para pakar dari berbagai disiplin ilmu sosial sehingga sulit menemukan suatu definisi yang berterima untuk semua kalangan.
 Duranti (1997: 252-255), kebudayaan dapat dilihat sebagai agregat pengetahuan, modus komunikasi, atau sistem partisipasi sosial. Dijelaskan bahwa budaya itu mencakup beberapa komponen dan salah satu komponen yang terpenting adalah bahasa. Dalam hal ini, bahasa sebagai bagian terpenting dari budaya dan dipandang sebagai alat sosial, modus berpikir, dan praktek budaya itu sendiri.
Disamping itu, hubungan antara budaya dan bahasa adalah bersifat dinamis dan saling mempengaruhi. Bahasa sebagai alat untuk mengkomunikasikan unsur-unsur budaya yang lain senantiasa berinteraksi secara dinamis dan terus menerus dengan budaya yang melingkupinya. Menurt Safir-Wolf (1921: 8-10), bahasa pertama menentukan pola pikir dan tingkah laku kita dalam interaksi verbal yang berarti bahasa itu menentukan modus budaya.
Selanjutnya Hudson (1980:25) juga menjelaskan bahwa nilai-nilai budaya yang kita anut akan tercermin dalam tingkah laku kebahasaan, dan tingkah laku kebahasaan ini sering disebut sebagai tingkah laku retoris. Dalam hal ini Retorika dipahami sebagai penggunaan bahasa dalam konteks tertentu, dan secara fundamental Retorika itu dapat dianggap sebagai perwujudan bahasa dalam kaedah-kaedah komunikasi budaya manusia yang memungkinkan kita saling mentransfer gagasan.         Kurangnya kesadaran akan wujud Retorika yang disepakati secara tacit dapat menyebabkan gangguan berkomunikasi. Gangguan ini dapat  berupa kegagalan komunikasi. Kegagalan komunikasi ini dapat disebabkan penggunaan Retorika yang keliru atau salah terap.  Ketidaktahuan bagaimana meng gunakan Retorika yang tepat kepada khalayak yang tepat dapat mengarah ke konflik Retorika. Konflik Retorika berarti kegagalan komunikasi dan kegagalan dalam berkomunikasi tentu dapat menimbulkan komplek sosial yang serius.
            Menurut Plato, Retorika itu mengacu pada suatu kemampuan menggunakan bahasa dengan sempurna dan merupakan alat atau cara yang baik bagi seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang luas dan mendalam; sementara Aristoteles memandang Retorika sebagai suatu kemampuan memilih dan menggunakan bahasa dalam situasi tertentu secara efektif untuk mempersuasi orang lain dengan ketiga modus persuasi, yakni: pathos, ethos dan logos.
            Menurut Golden dkk. (1993:13), Retorika adalah studi tentang bagaimana seseorang mempengaruhi orang lain untuk membuat pilihan secara bebas. Jadi Retorika  mempelajari tetang cara berbicara yang indah dan efektif untuk membangkitkan simpati dan mendapatkan kerelaan dari para pendengar. Hal ini senada dengan definisi Retorika yang disajikan Encyclopedia Britanica (1956: 314), yakni: ‘Rethoric is the art of using language in such a way as to produce a desired  impression upon the hearers or readers’.
Sebagaimana tesis yang disampaikan oleh Sapir-Whorf  di atas bahwa bahasa pertama menentukan pola pikir dan tingkah laku kita dalam interaksi verbal, dan dikaitkan dengan pemahaman budaya yang disampaikan oleh Duranty (1997: 1) yang menyatakan bahwa budaya adalah agregat pengetahuan, modus komunikasi, atau suatu sistem partisipasi sosial, dan bahasa dianggap sebagai suatu bagian yang terpenting dari kebudayaan, yakni sebagai modus berpikir, alat sosial dan praktek budaya, maka kita dapat menyimpulkan bahwa bahasa (berwujud Retorika dalam penggunaannya) saling terkait dengan budaya dan hubungan diatara keduanya bersifat dinamis dan saling mempengaruhi (hubungan dialektis). Dengan demikian Retorika dapat mempengaruhi cara berpikir dan praktek budaya dan oleh karenanya sangat berperan di dalam membentuk dan membangun karakter suatu bangsa.

KARAKTER BANGSA
            Selanjutnya perlu merefleksikan hakekat karakter. Secara etimologis karakter berasal dari bahasa Yunani ‘kasairo’ yang berarti cetak biru, atau format dasar, atau sidik seperti yang digunakan dalam frase sidik jari. Dalam hal ini karakter adalah sesuatu yang dianugrahkan. Menurut Mounier (1956:113), karakter dapat dipahami sebagai dua hal. Pertama, karakter dipahami sebagai sekumpulan kondisi yang telah diberikan atau dianugrahkan kepada diri kita; karakter yang demikian itu dianggap sebagai suatu kodrat. Dalam pemahaman kedua, karakter dianggap sebagai tingkat kekuatan yang dimiliki yang membuat seseorang mampu menguasai kondisi tertentu. Karakter seperti ini dianggap sebagai suatu proses yang dikehendaki. Menurut Kusuma (2007:28), orang yang berkarakter adalah orang yang merancang dan membangun masa depannya sendiri, dan ia tidak mau dikuasai kondisi kodratnya yang menghambat pertumbuhannya; ia senantiasa menguasai dan mengembangkannya demi kesempurnaan kemanusiaannya.
            Karakter dapat juga dipahami sebagai paduan segala tabiat yang bersifat tetap atau watak dan menjadi ciri khusus yang membedakan seseorang dengan orang lain. Karakter itu timbul sebagai akibat proses ajar, dan oleh karenanya sering disebut sebagai pendidikan karakter. Ki Hajar Dewantara (1877:408) menyatakan bahwa karakter itu adalah perimbangan yang tetap antara hidup batiniah dengan segala macam perbuatannya. Oleh karena itu karakter itu menjadi sendi di dalam kehidupan yang selalu mewujudkan perangai seseorang.
            Karakter dari sudut pandang psikologis dan etis, dapat dicermati dari tingkah laku  ketika seseorang berinteraksi. Secara psikologis karakter dapat diartikan sebagai sifat-sifat yang nampak dan seolah-olah mewakili pribadi seseorang; sementara ditinjau dari sudut etika, karakter dapat dipahami sebagai nilai-nilai yang baik dan menunjukkan sifat-sifat yang selalu dapat dipercaya, sehingga orang yang berkarakter itu menunjukkan pendirian yang teguh, dan memiliki sifat baik, terpuji dan dapat dipercaya.
            Dari pemahaman karakter diatas dapatlah dijelaskan bahwa karakter bangsa itu mengacu pada ciri khas dan sikap suatu bangsa yang tercermin pada tingkah laku dan pribadi setiap warga suatu bangsa. Karakter tersebut dapat mencakup sifat-sifat yang dianugerahkan maupun sesuatu yang diusahakan oleh suatu bangsa. Oleh karena itu, karakter suatu bangsa sangat tergantung pada kemauan atau usaha sungguh-sungguh dari pemerintah atau suatu negara. Hal ini disebabkan, karakter bangsa selain sifat-sifat yang dianugrahkan juga merupakan jati diri yang dibangun sesuai dengan visi dan ideologi yang dimiliki suatu negara.
Lebih jauh dapat dijelaskan bahwa karakter bangsa adalah kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang khas baik yang tecermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara sebagai hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau sekelompok orang. Karakter bangsa Indonesia akan menentukan perilaku kolektif kebangsaan Indonesia yang khas, baik yang tecermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara Indonesia yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila, norma UUD 1945, keberagaman dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen terhadap NKRI.
Dalam hal ini, karakter bangsa yang sangat fundamental dan perlu dibangun secara terus menerus agar tidak luntur dipengaruhi oleh derasnya pengaruh budaya luar diantaranya adalah kebangsaan yang telah dimiliki sejak dicetuskannya Sumpah Pemuda 1928. Sumpah ini menegaskan bahwa Indonesia adalah satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa.
Pada masa lalu, para pendiri bangsa ini melakukan proses menjadi bangsa Indonesia dimulai dari para elite dengan proses sukarela. Masing-masing menyatakan dirinya lalu mencari unsur-unsur yang bisa dipakai sebagai pangkal tolak bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia dibangun atas dasar prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan. Nilai-nilai luhur yang tersimpan dalam prinsip tersebut menjadi harapan para pendiri bangsa ini untuk dijadikan sebagai karakter bangsa Indonesia. 

KRISIS KARAKTER BANGSA
Persoalan budaya, Retorika dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Sorotan itu mengenai kemerosotan berbagai aspek kebudayaan dan  tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di baik media cetak maupun elektronik. Selain di media massa, para pemuka masyarakat, para ahli, dan para pengamat sosial, dan pengamat pendidikan juga berbicara mengenai persoalan degradasi budaya di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa,  kehidupan politik yang tidak produktif, kehidupan ekonomi yang konsumtif, dan tata krama serta kesantunan berkomunikasi yang menyimpang sebagai jelmaan konflik kemerosotan budaya bangsa menjadi topik pembahasan hangat di media massa, seminar, dan di berbagai kesempatan. Berbagai alternatif penyelesaian telah banyak dikemukakan dan diajukan, seperti: memberlakukan berbagai peraturan dan undang-undangan, serta peningkatan upaya penerapan hukum yang lebih kuat.
Namun, krisis yang dialami bangsa Indonesia ini, tidak hanya krisis sosial budaya atau ekonomi maupun politik, tapi lebih dari itu, bangsa kita tengah menghadapi krisis karakter. Berbagai peristiwa atau kejadian yang sering berlangsung dalam kehidupan sehari-hari yang kita saksikan melalui TV maupun media massa lainnya menunjukkan betapa bangsa kita tengah mengalami degradasi karakter.
Seiring perjalanan waktu moral bangsa terasa semakin amburadul, huru-hara dan kesewenangan terjadi di mana-mana, tata krama pun hilang, nyawa seperti tak ada harganya, korupsi menjadi-jadi bahkan telah dilakukan terang-terangan dan berjamaah. Berbagai bentuk kerusuhan yang diikuti penjarahan, dan pembunuhan terjadi di berbagai daerah. Masyarakat Indonesia seperti kehilangan prinsip dan nation dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, konsep Bhineka Tunggal Ika sudah mulai luntur dari jiwa-jiwa generasi penerus bangsa ini. Fenomena ini bisa terjadi disebabkan  masyarakat Indonesia sedang mengalami Crisis Nation Character.
Krisis karakter yang dialami bangsa saat ini disebabkan kerusakan individu-individu masyarakat yang terjadi secara kolektif sehingga terbentuk budaya atau kebiasaan. Budaya inilah yang telah menginternal dalam sanubari masyarakat Indonesia dan menjadi karakter bangsa. Sehubungan dengan degradasi karakter bangsa ini, Mochtar Lubis mengemukakan ciri manusia Indonesia yang antara lain: munafik, segan dan enggan bertanggung jawab,  berjiwa feodal,  percaya tahayul,  artistik,  berwatak lemah (cengeng), tidak hemat,  kurang gigih, serta  tidak terbiasa bekerja keras. Kita tidak dapat sepenuhnya membenarkan  pernyataan itu, namun jujur kita mengakui bahwa ciri yang di kemukakan diatas jelas merupakan gejala atau kecenderungan umum yang sedang berkembang ditengah masyarakat Indonesia saat ini dan cenderung membentuk karakter yang permanen.
Terlepas dari itu semua apakah mentalitas bangsa merupakan warisan penjajah feodal atau justru merupakan kegagalan pendidikan Indonesia dalam membentuk karakternya, pendidikan seharusnya menjadi media pencerahan atau perbaikan sekaligus pembentukan karakter masyarakat Indonesia sesungguhnya. Pertanyaan yang muncul adalah, apa yang telah dilakukan sistem pendidikan kita selama ini?
Mencermati pertanyaan ini, dalam konteks memahami fenomena tersebut diatas, menjadi menarik apa yang disarankan UNESCO bahwa pendidikan harus mengandung tiga unsur, yakni: belajar untuk tahu (learn to know);  belajar untuk berbuat (learn to do); dan belajar untuk hidup bersama (learn to live together). Unsur pertama dan kedua lebih terarah membentuk having, agar sumber daya manusia mempunyai kualitas dalam pengetahuan dan keterampilan atau skill. Unsur ketiga lebih terarah kepada being menuju pembentukan karakter bangsa. Dewasa ini, unsur itu menjadi amat penting untuk membangkitkan rasa nasionalisme yang kuat; menanamkan etika berkehidupan bersama, termasuk berbangsa dan bernegara; pemahaman hak asasi manusia secara benar, menghargai perbedaan pendapat, tidak memaksakan kehendak, pengembangan sensitifitas sosial dan lingkungan dan sebagainya, merupakan beberapa hal dari unsur pendidikan melalui belajar untuk hidup bersama. Pendidikan dari unsur ketiga ini, sudah semestinya dimulai sejak pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi.
Ditengahtengah kecenderungan global seperti yang telah disampaikan di atas, Indonesia sebagai sebuah negara menghadapi beberapa masalah spesifik yang terjadi sebagai implikasi dari kebijakan dan proses pembangunan yang dilakukan di masa lalu. Diantara masalah tersebut adalah tingkat pendidikan yang relatif rendah, sumberdaya alam yang makin berkurang, makin menonjolnya sikap kekamian, dan korupsi.
Seperti kenyataan yang terjadi, sejak awal tahun 1970an di Indonesia berkembang suatu praktek baru, yaitu praktek korupsi. Praktek ini, yang pada awalnya dimulai di kalangan mereka yang memegang jabatan dalam birokrasi, dengan cepat berkembang menjadi kebiasaan baru. Kebiasaan ini menyebar luas dari atas ke bawah, ke seluruh wilayah negara. Saking meluasnya korupsi, Bung Hatta, salah seorang Proklamator Kemerdekaan RI, pernah menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya. Nampaknya yang beliau maksud adalah bahwa korupsi sudah menjadi kebiasaan yang diterima sebagai suatu hal yang wajar.
Praktek korupsi telah mengakibatkan sumberdaya yang dimiliki negara telah mengalir kepada sekelompok orang yang tidak pantas mendapatkannya; dan justru sebagian besar rakyat yang berhak menikmatinya terabaikan. Hal ini adalah salah satu bentuk ketidakadilan. Praktek korupsi telah melemahkan daya saing ekonomi, daya saing negara dan bahkan merusak kredibilitas bangsa.

UPAYA MEMBANGUN  KARAKTER  BANGSA
Pembangunan Karakter Bangsa adalah upaya kolektif-sistemik suatu negara kebangsaan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan dasar dan ideologi, konstitusi, haluan negara, serta potensi kolektifnya dalam konteks kehidupan nasional, regional, dan global yang berkeadaban untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, patriotik, dinamis, berbudaya, dan berorientasi Ipteks berdasarkan Pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pembangunan karakter bangsa dilakukan secara koheren melalui proses sosialisasi, pendidikan dan pembelajaran, pemberdayaan, pembudayaan, dan kerja sama seluruh komponen bangsa dan negara.
Dalam rangka merestorasi dan membangun karakter bangsa ini, kita perlu memahami faktor faktor utama yang menyebabkan bangsa kita menghadapi permasalahan sekarang ini.
Salah satu penyebab utamanya adalah surutnya atau lunturnya patriotisme. Lunturnya patriotisme di masyarakat akan menyebabkan meningkatnya kemunafikan, surutnya ketulusan, meningkatnya kecenderungan mengambil dari pada memberi dan bahkan mengambil yang bukan haknya, meningkatnya kecenderungan mengu tamakan kepentingan diri atau kelompok yang sempit di atas kepentingan masyarakat luas atau di atas kepentingan bangsa.
Patriotisme tidak hanya diperlukan dalam perjuangan fisik merebut kemerdekaan, namun diperlukan juga dalam upaya pembangunan kebudayaan, serta merestorasi dan membangun karakter bangsa Indonesia yang kuat. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan patriotisme adalah niat yang diwujudkan dalam tindakan yang didasari integritas untuk berkontribusi secara ikhlas demi kemaslahatan masyarakat luas.
Patriotisme sesungguhnya bukanlah barang baru di Indonesia. Ini telah ditunjukkan oleh  para leluhur pejuang kemerdekaan yang bahkan berani mempertaruhkan nyawanya. Sekarang ini patriotisme tidak hilang dari bumi Indonesia, namun hanya sedang surut dan melemah. Kita masih dapat menyaksikan dan merasakan bahwa jiwa kejuangan tersebut masih menyala, walaupun di lingkungan yang sangat luas mungkin memudar. Jadi tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia dan generasi muda Indonesia khususnya dalam menyongsong masa depan adalah melakukan revitalisasi atau membangkitkan kembali jiwa kejuangan dan karakter bangsa Indonesia yang kuat di semua sektor kehidupan.
Patriotisme yang diperlukan sekarang adalah patriotisme yang membuat bangsa Indonesia lebih maju, lebih sejahtera, lebih berkeadilan dan mampu menjadi salah satu bangsa yang berkarakter dan terpandang di tengah tengah bangsa lain di dunia. Isi dari patriotisme tersebut terutama diantaranya: kejujuran, optimisme, semangat belajar, kerja keras, semangat berkontribusi, dan  tanggung jawab sosial. Hal ini dimaksudkan agar individu-individu setiap komponen bangsa ini melakukan sesuatu yang membawa kemaslahatan bagi masyarakat luas.  Maju bersama dalam kebhinekaan dan membangun citacita bersama, serta menjadikan kebhinekaan sebagai sumber kekuatan dan salah satu ciri karakter bangsa Indonesia.
Dewasa ini, menumbuhkan dan mengembangkan semangat patriotisme yang diharapkan sebagai karakter kuat setiap individu bangsa ini, tidak bisa dilakukan hanya dengan memasukkan seseorang dalam program indoktrinasi, atau penataran. Semangat patriotisme yang sehat dan karakter yang kuat dapat tumbuh secara alami, bersemi dari kesadaran, dari kepekaan, dari keyakinan dan rasa tanggung jawab sosial; dan semangat patriotisme sebagai  salah satu ciri karakter kuat bisa berupa suatu himpunan kebajikan yang tumbuh dan berkembang karena terjadinya proses belajar. Dalam proses belajar ini, lingkungan pendidikan memegang peran penting.
Berbagai lingkungan pendidikan, seperti lingkungan pendidikan di rumah, di sekolah, pergaulan dengan teman sejawat, buku, media, sangat mempengaruhi wawasan dan sikap seseorang. Semangat patriotisme akan lebih mudah berkembang dalam lingkungan pendidikan yang berorientasi pada pengembangan karakter.
Pendidikan karakter bukanlah barang baru di Indonesia. Para pendiri bangsa ini telah menyiapkan bangsa Indonesia untuk berjuang mencapai kemerdekaan melalui pendidikan karakter. Mereka membangun kepercayaan diri rakyat Indonesia, membangun optimisme, keberanian, kerelaan berkorban, dan semangat kekitaan. Bahkan sesudah kemerdekaan, dalam pidato kenegaraan tanggal 17 Agustus 1957 Bung Karno menekankan pentingnya nation building dan character building bagi Indonesia. Negara tetangga kita di Asia, RRC, setelah terpuruk oleh Revolusi Kebudayaan, membangun kembali kejayaannya pada akhir abad ke 20, dengan meningkatkan kualitas rakyatnya melalui pendidikan karakter. Di belahan bumi yang lain, lebih dari dua ribu tahun yang lalu Cicero, seorang filosof dan negarawan Yunani menyatakan bahwa ’kesejahteraan suatu bangsa ditentukan oleh karakter warga negaranya’.
Mencermati berbagai definisi diatas, karakter dapatlah kita maknai sebagai watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan itu sendiri mencakup sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi setiap individu bangsa ini dengan orang lain yang dilandasi pemahaman karakter tersebut di atas dapat menumbuhkan karakter masyarakat atau karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial, budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila; jadi pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peserta didik melalui pendidikan otak, hati, dan fisik.
Dengan merefleksikan budaya dan praktek Retorika dalam usaha membangun karakter bangsa seperti dipaparkan diatas, diharapkan khususnya para lulusan perguruan tinggi, sebagai agen pencerah dan pembaharuan budaya bangsa yang akan menyebar di seluruh penjuru tanah air tercinta ini, memahami dan menghayati serta mampu menerapkan  nilai-nilai luhur yang tercermin dalam ciri-ciri atau indikator karakter yang kuat, yakni:
Menguasai, menghayati dan mampu menerapkan nilai religius dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini mengacu pada sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
Menguasai, menghayati dan mampu menerapkan nilai kejujuran dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini berarti selalu berperilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
Menguasai, menghayati dan mampu menerapkan nilai toleransi dalam perilaku kesehariannya. Hal ini mengacu pada sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
Menghayati dan mampu menerapkan kedisiplinan dalam perbuatan atau tindakan-tindakan sehari-harinya. Hal ini berarti selalu bertindak dan berbuat sesuatu dengan menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
Menghayati dan menggemari kerja keras dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini mengacu pada perilaku yang selalu menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar atau tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
Menghayati dan mampu menerapkan nilai kreatifitas dalam kehidupan kesehariannya, yakni: berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
Menghayati dan mampu menerapkan nilai kemandirian dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini mengacu pada sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
Menguasai, menghayati dan mampu menerapkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan kesehariannya, yakni cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
Memiliki  rasa keingintahuan dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini mengacu pada sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
Menghayati dan mampu menerapkan semangat kebangsaan dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini berarti selalu menunjukkan cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
Memiliki rasa cinta tanah air dalam kehidupan kesehariannya, yakni: cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
Menghargai suatu prestasi dalam usaha-usaha kesehariannya. Hal ini mengacu pada sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
Menghayati dan menerapkan nilai persahabatan dalam kehidupan kesehariannya, yakni: tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
Menghayati dan mencintai kedamaian dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini mengacu pada sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
Memiliki kegemaran membaca dalam kehidupan kesehariannya, yakni: kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
Memiliki keperdulian terhadap lingkungan dalam kehidupan kesehariannya, yakni: sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
Memiliki keperdulian sosial dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini mengacu pada sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
Memiliki rasa tanggung-jawab dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini mengacu pada sikap dan perilaku yang konsisten dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

KESIMPULAN
Dengan demikian dapatlah di rangkum bahwa dalam era globalisasi sekarang ini, yang melintas bebas dari satu negara ke negara lain tidak saja produk, jasa, dan dana, namun juga budaya bangsabangsa. Dengan memiliki kesadaran dan pemahaman budaya bangsa dan penguasaan praktek Retorika yang baik, suatu bangsa akan mampu melakukan dialog kebudayaan bangsanya dengan budaya yang datang dari luar.
Dengan kemampuan praktek retorika yang prima dalam berbagai dialog, masyarakat akan dapat memilah dan memilih unsur budaya luar yang dapat memperkaya budaya sendiri.
Dengan kesadaran dan pemahaman budaya sendiri, masyarakat akan terhindar dari kemungkinan menerima begitu saja budaya lain tanpa proses seleksi, atau menolaknya secara apriori, dan dengan kesadaran dan pemahaman budaya Indonesia, semangat patriotisme akan dapat mengantar Indonesia menjadi Indonesia yang maju, adil dan sejahtera dan tetap berkarakter Indonesia.
Lawrence E. Harrison  menyata kan bahwa ’underdevelopment is a state of mind’. Sebab itu apabila mau keluar dari ketertinggalan dan kemerosotan moral anak bangsa yang sangat menghawatirkan ini, maka pertamatama yang perlu dibenahi adalah mentalitas bangsa (the nation’s state of mind).
Membangkitkan kembali semangat patriotisme dapat digelorakan sebagai bagian dari usaha pembenahan mentalitas tersebut. Membangkitkan kembali semangat patriotisme adalah tanggapan budaya terhadap perkembangan pengetahuan manusia serta makin intensifnya proses interaksi budaya antar bangsa sekarang ini.
Membenahi mentalitas memang bukan segalagalanya. Namun ini adalah penggerak mula atau penghela dari perubahan lain yang perlu dilakukan.
Membangkitkan semangat patriotisme sekarang ini agak berbeda dengan membangkitkan semangat patriotisme dalam merebut kemerdekaan. Sekarang patriotisme perlu diarahkan untuk merestorasi dan membangun terus karakter bangsa yang kuat melalui diantaranya mengalahkan diri sendiri, yakni mengalahkan kemunafikan, mengalahkan kebodohan, mengalahkan pesimisme, mengalahkan kemalasan, mengalahkan ketidakpedulian, mengalahkan keserakahan, dan mengalahkan kesombongan yang ada pada diri sendiri sebagai bagian dari masyarakat Indonesia.
Membangkitkan kembali semangat patriotisme perlu menjadi ikhtiar bersama, karena pada dasarnya semua orang dalam lubuk  hatinya  yang  paling dalam ingin hidupnya berarti, bermakna, membawa rahmat bagi masyarakat luas. Itu semua adalah bisikan hati untuk mewujudkan semangat patriotisme dan dengan demikian bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang memiliki akhlak yang mulia dan karakter yang kuat.


Daftar Pustaka

Aristotle, (in Jebb, R.C. 1909). The Art of Rhetoric. Cambridge: Cambridge University Press.
Brook, C., & Warren, R.P. (1970). Modren Rethoric. New York: Harcourt, Bruce & World.
Duranti, A. (1997). Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.
Guin and Marder (1986). A Spectrum of Rhetoric. Tronto:Little Brown Company.
Hofstede, G. and Gert Jan, G.F. (2005). Culture and Organization: Software of Mind. New York: McGraw Hill.
Hudson, R.A. (1980). Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Kuntjaraningrat (2003). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.
Kusuma, D.A. (2007). Pendidikan Karakter. Jakarta: Gramedia Widisarana Indonesia.
Mourner, E. (1956). The Character of Man. New York: Hamper and Brothers.
Peterson, Ch., and Seligman, M.E.P. (2004). Character Strengths and Virtues: A handbook of Classification. Oxford: Oxford University Press.
Robert J. House et.al, (2004). Culture, Leadership and Organization. New York: Sage Publication.
Sapir, E. (1921). Language: An Introduction to the Study of Speech. London: Harcourt Brace Jovanovich.
Soekarno (1965). Satu Tahun Ketentuan , Dibawah Bendera Revolusi , Jilid Kedua,
Cetakan Kedua. Jakarta: Panitya Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi.
Sutan Takdir Alisjahbana dkk. (1991). Menerawang Masa Depan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni. Bandung: Penerbit ITB.



CLICK menuju DAFTAR ISI atau menuju ADI, bisa juga menuju AMBARA


Technorati Tag national character, culture, rhetoric, reflection, patriotism, karakter bangsa, budaya, retorika, renungan, patriotisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar