Selasa, 22 November 2011

ARTIKEL 5 (Sujarwoko)

REPRESENTASI MILITERISME PADA SISTEM POLITIK  OTORITER DALAM KUMPULAN CERPEN SAKSI MATA
KARYA SENO GUMIRO AJIDARMO
 
Sujarwoko
Universitas Nusantara PGRI Kediri

Abstract: In the literature there is a portrait of the condition of society and at the same time there are loads of views, ideals, and the authors belief. One of the conditions of society was in the New Order that implemented an authoritarian political system. The political system relayed more priority on the power of leaders to gain legitimacy from the people by using coercive means. What happened was that the armed forces played a dominant role in support of political stability. Not surprisingly, one of the political system authoritarian syndrome is militarism. In the collection of short stories Eyewitnessed by Seno Gumira Ajidarmo, the armed forces used to hunt down, arrest, and brutally murder the suspected parties. This happened because of militarism in the authoritarian political system in the short story collection was implemented in the conflict area.

Key words: militarism, sectarian, sadism, paranoia, and persecution

Abstrak: Dalam karya sastra terdapat potret kondisi masyarakat dan sekaligus terdapat muatan pandangan, cita-cita, dan kenyakinan pengarangnya. Salah satu kondisi masyarakat itu adalah pada masa Orde Baru yang menerapkan sistem politik otoriter. Sistem politik ini lebih mengutamakan kekuatan pemimpin untuk memperoleh legitimasi dari masyarakat dengan menggunakan sarana pemaksa. Yang terjadi, peran militer sangat dominan untuk mendukung stabilitas politik. Tak mengherankan salah satu sindrom sistem politik otoriter adalah militerisme. Dalam kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarmo, militerisme digunakan untuk memburu pihak-pihak yang dicurigai, menangkap, dan membunuh secara sadis. Hal ini terjadi karena militerisme dalam sistem politik otoriter dalam kumpulan cerita pendek ini diterapkan di daerah konflik.
                   
Kata kunci : militerisme, sektarian, sadisme, paranoid, dan persekusi
                          

PENDAHULUAN
Karya sastra yang merupakan hasil “perkawinan” dunia fiksi dan realita, dengan sendirinya akan mewarisi sifat-sifat dasar dari kedua induknya. Dalam karya sastra, ditemukan pelukisan suasana, tempat, tokoh-tokoh, dan peristiwa yang tidak ada dalam dunia nyata (Luxemburg, 1986:19). Di dalamnya, dapat  ditarik konteks sosialnya. Sastrawan, yang melahirkan karya sastra, adalah anggota masyarakat sebagai pengejawantahan homo homoni socius, manusia sebagai  makhluk sosial. Maka tak pelak lagi, dalam karya sastra, tergambar pula kondisi sosial masyarakat sebagai cermin keadaan masyarakat ketika karya sastra diciptakan.
            Pada jaman Balai Pustaka  ditemukan karya sastra Angkatan 1920. Roman Siti Nurbaya karangan Marah Rusli, tidak akan pernah lahir, atau lahir dalam bentuk yang lain, jika pada waktu itu tidak ada tradisi kawin paksa. Demikian pula, kemauan untuk maju dengan mengadobsi budaya barat, terpotret pada roman Salah Asuhan karangan Abdul Muis dan novel Layar Terkembang karangan Sutan Takdir Alisyahbana yang melahirkan Angkatan Pujangga Baru atau Angkatan 1930. Puisi-puisi Chairil Anwar yang menyuarakan revolusi, merupakan refleksi jamannya karena pada saat itu api revolusi sedang berkobar dan menjadikan Chairil  Anwar sebagai pelopor Angkatan 1945. Sementara itu, puisi-puisi Taufik Ismail yang terkumpul dalam Tirani dan Benteng misalnya, adalah gambaran bentuk berontak masyarakat karena melihat kebobrokan pemerintahan pada masa Orde Lama.
                Dalam masa pemerintahan Orde Baru bangsa Indonesia juga mempunyai sejarah politik pemerintahan yang tidak pernah dilupakan dalam agenda politik nasional yaitu  sistem pemerintahan otoriter (Mulder, 2003:41).  Rezim otoriter menentang kebebasan individu, dan lebih mengarah pada kepatuhan warga negara pada negara dalam hal perintah, dan tata tertib. Rezim otoriter memandang masyarakat sebagai sebuah organisasi hirarkis dengan satu rantai perintah di bawah kepemimpinan dari seorang penguasa atau suatu kelompok. Sistem politik otoriter berusaha membendung aspirasi politik rakyat dan  menindas hak-hak rakyat secara sistematis. Maka yang terjadi, perbuatan arogan dan kesewenang-wenangan penguasa kepada rakyat tak bisa dielakkan.
            Suasana itu tecermin pada kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumiro Ajidarmo.  Menyimak keseluruhan cerita ini, serentak kita seperti menonton drama penculikan yang begitu rapi, tersembunyi, dan terorganisasi serta penyiksaan dan pembantaian yang kejam, sadis, dan mengerikan bagaikan perilaku binatang buas yang mencabik-cabik mangsanya. Nyawa dan harga diri manusia tidak berharga lagi. Penyiksaan, penculikan, dan pembantaian  dilakukan seperti melakukan pekerjaan yang merupakan hobi, kegemaran atau hiburan.
            Sastrawan, sementara itu, merupakan individu yang tidak rela melihat ketidakadilan di sekitarnya dan mengekspresikan gagasannya dengan bahasa yang estetis. Sastrawan, dengan demikian, merupakan subjek yang terlibat langsung dalam memutar roda kebudayaan yang berhadapan dengan penguasa. Karya sastra, yang merupakan kreatifitas sastrawan, menurut  Rene Wellek dan Austin Warren merupakan ungkapan perasaan masyarakat (Wellek, 1995:110). Dengan begitu, militerisme yang terlukis dalam kumpulan cerpen Saksi Mata pada dasarnya merupakan bentuk ungkapan perasaan masyarakat tentang kritik militer,  pembelaan, dan perlawanannya, sekaligus sebagai "saksi mata" atas kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyat.
            Demikianlah menurut Farnen               (2000:10). salah satu sindrom kepribadian otoriterisme adalah militerisme, yakni paham yang mendasarkan kekuatan militer sebagai pendukung kekuasaan (Ali, 2005:744).  Militerisme merupakan pembenaran terhadap tindakan militer yang lebih kuat sebagai suatu tujuan awal masyarakat, bahkan terkadang mengorbankan kepentingan dan kebebasan sosial dari masyarakat itu sendiri (Encarta Enciclopedia, 2004).  Dalam negara birokrasi otoriter militer berfungsi sebagai sarana pemaksa terhadap kelompok yang menuntut keadilan dan penjaga undang-undang serta untuk menormalisasi “tata tertib”. Militer sangat berperan dalam menyingkirkan aspirasi rakyat yang mengambil bentuk penindasan (Macridis, 1992:203).
            Militerisme merupakan cara yang efektif dan praktis untuk menanamkan ketakutan kepada rakyat. Di pihak lain, militer merupakan institusi yang menjalankan doktrin perintah tanpa tanya. Karena itu, saran Machiavelly, penguasa yang ideal dituntut bisa menciptakan untuk dicintai dan sekaligus ditakuti rakyatnya. Jika tidak bisa mendapat keduanya, penguasa lebih aman jika ditakuti (Machiavelly, 2005:57—58). Menurut Marriot memang sulit memadukan keduanya (Marriot, 1908:54). Kebaikan yang diperoleh dengan kemuliaan memang sangat didambakan tetapi pada saat dibutuhkan tidak bisa diandalkan. Dua subjek yang saling mencintai pada dasarnya memiliki garis sejajar dalam kewenangan. Hal itu berarti satu dengan yang lain tidak bisa secara sepihak sepenuhnya untuk menyuruh menurut kehendaknya. Dalam kerja samanya ada saling menghormati. Sedangkan ketakutan, yang satu bertindak sebagai ordinat dan yang lainnya sebagai suborninat. Subordinat selalu mengikuti ordinatnya. Rakyat yang takut kepada penguasa bagaikan kerbau yang dicocok hidungnya, mereka akan menurut kemanapun penguasa menghendakinya dan mudah mengontrolnya.
Selanjutnya, berkaitan dengan militerisme, Machiavelly (dalam Marriot, 1908:54) menasihatkan  kepada raja-raja baru, yang terpenting bahwa ‘dasar-dasar utama dari seluruh negara”  adalah undang-undang yang baik dan bala tentara yang baik. Sebagai tambahan, bala tentara yang baik bahkan lebih penting daripada undang-undang yang baik, karena tidak mungkin ada undang-undang yang baik bila tentaranya tidak baik, sedangkan jika terdapat tentara yang baik, “pasti ada undang-undang yang baik”. Norma ini yang ditanamkan dengan sentuhan yang khas dan dilebih-lebihkan, menyatakan bahwa seorang raja yang bijak harus “tidak memiliki tujuan dan kepentingan lain” selain dari perang dan undang-undang serta disiplinnya.”.
Berkaitan dengan uraian di atas, dalam tulisan ini akan dibahas masalah Representasi Militerisme pada Sistem Politik Otoriter dalam Kumpulan Cerita Pendek Saksi Mata Karya Seno Guimira Ajidarmo. Pembahasan berturut-turut difokuspada pada : (a) militerisme dan sektarian, (b) militerisme, sadisme, dan paranoid, dan (c) militerisme dan persekusi.

PEMBAHASAN

Militerisme dan Sektarian
Kumpulan cerpen Saksi Mata (Ajidarmo, 2005karya Seno Gumiro Ajidarmo yang berjumlah enam belas  cerpen semuanya beraroma militerisme. Aroma militerisme terasa jelas baik pada setiap kata kunci dengan frekuensi kemunculan yang sangat tinggi, seperti serdadu, tentara, ninja, penculikan, intel, penembakan,, penyiksaan, ditahan, bayonet, senjata, pembantaian masal, maupun pada konteks cerita. Tegasnya, kumpulan cerpen Saksi Mata merupakan potret penerapan militerisme di daerah konflik. Konflik itu tidak menggambarkan konflik antarsuku, antargolongan, atau antarkeyakinan, yang peran penguasa sebagai media, penengah, tetapi antara penguasa dan sekelompok masyarakat yang memiliki ideologi berbeda dengan penguasa. Jelasnya, sekelompok masyarakat tersebut ingin memisahkan diri atau merdeka. Dengan sendirinya, penerapan militerisme yang diberlakukan  penguasa akan memporak-porandakan sendi-sendi kehidupan manusia, baik bagi orang tua, pemuda, ibu, anak, bahkan bayi yang baru lahir. Jarak antara kehidupan dan kematian begitu dekat. Bayang-bayang penyiksaan, pemerkosaan,  dan kematian terus memburunya. Banyak penduduk  yang mencari keselamatan, bersembunyi, mengungsi, dan sebaliknya melawan. Perasaan takut, cemas, benci, dan dendam terus berdetak dalam jantung mereka. Di samping itu, muncullah pihak-pihak yang dicurigai dan pejuang-pejuang kemerdekaan yang dianggap penguasa sebagai pemberontak atau musuh kendati tidak bersenjata.. Sebagian kutipan berikut ini menunjukkan paparan tersebut.

Aku hidup dalam hutan sampai umur 17. Selama itu telah kusaksikan bagaimana kehidupan berjalan dalam bayang-bayang kematian. Perkawinan antarpasangan, kelahiran, dan penguburan, semuanya berlangsung dengan perasaan setiap saat akan adas serangan mematikan. (hal.26).
"Aku juga kehilangan anakku Maria, tiga orang…."
"Aku juga kehilangan suamiku Maria…"
"Aku kehilangan seluruh keluargaku…"(hal.34-35).
Kadang-kadang mereka menerima kiriman bayi gerilya  yang masih merah, karena baru saja dilahirkan (hal.132).
Kami tak akan pernah bisa tahu siapa lawan siapa kawan, kami terpaksa membantai semuanya (T hal.19.)

Kutipan di atas seperti yang tersurat pada cerpen "Telinga" menggambarkan bahwa konflik antara militer dan kelompok sektarian sulit dibedakan, mana penduduk yang mendukung militer dan mana penduduk yang menjadi sasaran militer. Demikian sebaliknya, mana penduduk yang mendukung kelompok sektarian dan mana penduduk yang mendukung militer. Dalam kenyataannya, ada juga penduduk yang bersekutu dengan militer. Dalam cerpen  "Manuel" misalnya, diceritakan ada tokoh Manuel yang menceritakan panjang lebar tentang penyiksaan dan pembantaian masal yang dilakukan tentara kepada penduduk dan keluarganya. Dia sendiri seorang pejuang di kalangan kelompok sektarian. Peristiwa itu diceritakan secara detail di depan seseorang dan Manuel tidak berfikiran bahwa orang yang di depannya adalah musuhnya.Tanpa diketahui Manuel, seseorang yang diceritakan adalah seorang intel. Maka dengan mudah Manuel ditangkap dan ditahan. (hal.21).Tentunya, Manuel pun akan mengalami penyiksaan yang sadis.
Demikian pula pada cerpen "Listrik", Januario adalah pimpinan pergerakan. Salah satu anggotanya Domingos. Tanpa diketahui Januario, Domingos sebagai mata-mata militer. Hal tersebut diketahui setelah Esterlina, pacar Januario, disiksa, diperkosa oleh Domingos dan membisikkan ditelinganya pengakuannya itu. Sementara itu Januario masih dalam tahanan dan disiksa dengan disetrum listrik 110 volt.

Dia berbisik di telingaku dan mengaku sangat benci padamu dan mengaku benci kepadamu. Bukanlah dia anggota pergerakanmu itu Januario? (L, hal. 68.)

Penahanan militer terhadap Manuel dan Januario bukanlah pertimbahan hukum tetapi alasan politik. Karena itu, status Manuel dan januario dalam konteks tersebut sebagai tahanan politik. Demikian pula penahanan Antonio dalam cerpen "Maria". Antonio adalah anak Maria. Ibunya menunggu hingga setahun, ternyata Antonio diculik, ditahan, dan disiksa kemudian dilepaskan (hal.31). Dalam cerpen "Darah itu Merah, Jendral" tokoh Ribalta mengalami nasib yang mengenaskan. Dia ditahan, disiksa kemudian dibunuh dengan penuh lobang tembakan (108). Tokoh-tokoh yang ditahan kemudian disiksa dan dilepaskan atau dibunuh juga karena pertimbangan politik.
Dalam konvensi umum, penjara adalah kontrol terhadap warga dalam masalah kriminal. Namun, penahanan terhadap para tahanan dalam kasus politik dalam penjara tidak lain dari kontrol pikiran, kontrol terhadap "etika kemurnian ideologis" yang dijalankan suatu rezim yang menempatkan "etika politik" sebagai kewajiban politik (Dhakidae, 2000) . Kekerasan dan penahanan yang dilakukan militer kepada Manuel, Januario, Antonio, dan Ribalta adalah satu-satunya jalan untuk menjamin kebenaran dan praksis kebenaran dalam "etika kemurnian ideologi". Tahanan politik adalah konsekuensi langsung dari pemurnian ideologi dan etika politik.
Lalu siapakah yang bersedia menjadi saksi atas kekejaman itu? Sudah dapat  dipastikan, tidak satu orang pun yang bersedia menjadi saksi. Karena jika ada yang bersedia sama dengan menggali lubang untuk mengubur dirinya sendiri. Tetapi dalam cerpen "Saksi Mata" tokoh Saksi Mata bersedia menjadi saksi dengan resiko apapun (hal.9). Sebab tokoh Saksi Mata adalah tokoh imajiner yang tentunya penguasa dalam dunia realita tidak bisa menjamahnya. Ini teruji ketika H.B. Jassin diadili berkenaan dengan kasus cerpen “Langit Makin Mendung” karangan Ki Panji Kusmin, dia berargumentasi bahwa semua yang terlukis dalam cerpen tersebut adalah fiksi.
Tokoh Saksi Mata adalah tokoh fiksi. Tokoh Saksi Mata adalah lambang keadilan dan kebenaran dan lambang hati nurani, yang peduli akan nyawa dan harga diri. Demikianlah, sastra mampu membongkar kekejaman penguasa pada saat masyarakat tidak kuasa untuk membelanya. Sastra bisa dijadikan sarana pembela rakyat ketika bentuk-bentuk wacana dan retorika dibungkan oleh penguasa.

Militerisme, Sadadisme, dan Paranoid
Lebih jauh, penyiksaan dan pembantaian kepada kelompok sektarian dilakukan  tentara secara sadisme, yakni dengan tidak mengenal belas kasihan, kejam, buas, ganas, kasar, dan brutal mereka menghukum tawanannnya (Ali, 2005:744) Sementara itu, para serdadu itu tertawa-tawa melihat para tawanannya kesakitan dan kematiannya. Mereka merasakan kenikmatan  menyiksa dan membantai dengan cara seperti itu. Hal tersebut akibat rasa dendam yang mendalam dan  hiburan dalam kesibukannya sebagai tentara. Kutipan berikut ini memberikan gambaran suasana tersebut.

Pada waktu tidur lagi-lagi ia bermimpi, lima orang berseragam ninja mencabut lidahnya – kali ini menggunakan catut (SM, hal. 10).
Kukirimkan telinga ini untukmu Dewi, sebagai kenang-kenangan dari medan perang (T, hal.15).
Sementara itu, dalam komanya Fernando pergi ke masa lalunya, ketika seorang serdadu memaksanya menelan rosario di sebuah kuburan, dengan bayonet terhunus yang bersimbah darah (hal.59).
Para pemenang itu dengan segera berfoto bersama tawanan yang tubuhnya penuh lubang. Manyat itu mereka pasangi topi dan mulutnya dipasangi rokok. Mereka berfoto bersama seperti para pemburu berfoto dengan macan hasil buruannya (hal.108).

Pemberlakuan militerisme di daerah konflik juga mengakibatkan gangguan paranoid. Orang-orang dengan gangguan kepribadian paranoid memiliki perasaan curiga yang terus-menerus/konstan dan rasa tidak percaya kepada orang-orang lain. Mereka meyakini bahwa orang-orang lain mencoba melawan mereka dan mereka secara terus-menerus mencari bukti untuk mendukung kecurigaan mereka. Mereka memiliki sifat permusuhan terhadap orang-orang lain dan bereaksi dengan sangat marah apabila dihina. Pada awal tahun 1890-an Sigmund Freud merumuskan bahwa paranoid suatu "gangguan" intelektual, gejala awalnya tidak percaya kepada orang lain yang berlebihan, dan selanjutnya boleh jadi akan membunuhnya (Encarta Enciclopedia, 2004). Kutipan berikut menunjukkan gangguan paranoid.

Ini adalah telinga seseorang yang dicurigai sebagai mata-mata musuh. Kami memang biasa memotong telinga orang yang dicurigai, sebagai peringatan atas resiko yang mereka hadapi jika menyulut pemberontakan (T, ha.15).
"Taruh ember saja di bawahnya," ibunya memberi nasihat, Buat apa tiap hari mengepel darah musuh" (T, 16).
Terlalu banyak kuburan tanpa nama, terlalu banyak hukum-hukum tanpa tuduhan, terlalu banyak pengadilan tanpa makamah… (R, hal.57).

Kepribadian paranoid dengan ciri akan segera sangat marah jika merasa dihina terekam pada cerpen "Kepala di Pagar Da Silva". Motif kemarahan itu adalah pada siang bolong patroli tentara disergap gerombolan dan semua tentara itu habis dibantai, dirampas senjatanya, dilucuti seragam, dan sepatunya sehingga tinggal memakai cawat. Kasus ini dapat diumpamakan seperti kantor polisi yang dibobol pencuri. Tentu saja, perasaaan terhina mengobarkan api dendam yang membara. Malam harinya, operasi militer dikerahkan secara besar-besaran. Pintu-pintu rumah ditendang, penghuninya dipaksa ikut, sebagian tidak kembali dan yang bisa kembali wajahnya tidak bisa dikenali karena dihajar habis-habisan sampai hampir mati (hal.159).

Militerisme dan Persekusi
            Militerisme tidak hanya memburu pihak yang dicurigai tatapi berusaha menginterogasi, mengintimidasi keluarga bahkan teman dekatnya. Dalam dunia realita peristiwa itu dapat disimak pada masa Orde Baru yang otoriter. Militer berusaha memburu pihak-pihak yang dicurigai yang tersangkut G30S/PKI dengan menyangkutpautkan pihak keluarganya. Implementasinya, anak cucunya yang sama sekali tidak mengetahui hal ihwal G30S /PKI juga ikut menjadi catatan merah.
Dalam Saksi Mata perburuan yang berujung pembunuhan pada keluarga dan penyiksaan teman dekatnya benar-benar terjadi. Dalam cerpen "Kepala di Depan Pagar Da Silva" diceritakan ada seorang anak perempuan yang dibunuh dan kepalanya ditancapkan di depan pagar rumah Da Silva dan wajahnya dihadapkan di depan pintu.Ternyata kepala anak perempuan itu adalah kepala Rosalina, satu-satunya anak perempuan Da Silva.Da Silva adalah seorang  pejuang kemerdekaan. Dengan ditancapkan di  pagar dan wajahnya dihadapkan di  depan pintu, dengan harapan begitu Da Silva membuka daun pintu, dia langsung melihat kepala anak perempuannya yang dapat meluluh-lantakkan hatinya.Rosalina adalah korban militerisme (hal.139).
Demikian pula dalam cerpen "Listrik", pacar Januario, Esterlina, juga menjadi sasaran militerisme. Januario adalah pihak yang dicurigai oleh militer kemudian ditahan dan disiksa dengan disetrum linstrik. Dalam perburuannya, militer dan intelnya berusaha mengiterogasi Esterlina di mana tempat persembunyian Januario. Kutipan berikut menggambbarkan peristiwa tersebut.

Mereka ingin tahu persembunyianmu Januario! Tapi bagaimana aku bisa mengaku kalau kamu selalu merahasiakan kegiatanmu? Mereka itu tidak percaya Januario. Aku pacarmu, kekasihmu, mereka pikir aku pasti tahu. Mereka setrum aku Januario (L, hal.68).

Kutipan di atas memberikan gambaran bahwa untuk memburu sasaran utamanya, militer berusaha mempersekusi keluarga  dan sahabat dekatnya, menyiksa dan membunuhnya. Tujuannya pun menjadi jelas bahwa budaya kekerasan, kekejaman yang dilakukan militer dianggap menjadi wajar, biasa, sebab kekerasan diupayakan menjadi satu dengan kekerasan masyarakat. Perburuan dengan kekerasan seperti itu merupakan bentuk anti-Semitesme. Farnen mengatakan kaum otoritarianisme menerapkan intrik Machiavelly, sering memperlihatkan anti-Semitisme (They employ Machiavelly intrique, often express anti-Semitisme) (Farnen, 2000:10).
Kata Semit berasal dari kata Semitic semula dipublikasikan bagi semua keturunan bangsa Semit, anak tertua dari nabi Nuh..Dalam penggunaan selanjutnya, kata Semit mengarah suatu kelompok masyarakat di Asia Barat Daya, termasuk orang Yahudi maupun orang Arab. Istilah Anti-Semitisme saat ini digunakan untuk menunjukkan cara berbicara dan perilaku yang menghina terhadap orang-orang Yahudi asli, baik apakah mereka beragama Yahudi ataupun tidak. Anti-Semitisme merupakan gerakan agitasi/penghasutan baik secara politis, sosial, ekonomi, serta aktifitas yang diarahkan untuk melawan orang-orang Yahudi. Dalam perkembangan berikutnya istilah anti-Semitisme meluas dan lebih umum sebagai persekusi atau perburuan, yakni upaya pemerintah/penguasa untuk menghukum, membungkam atau membuat patuh, biasanya dalam bentuk kekerasan, larangan-larangan. Kelompok minorotas, terutama kelompok religius, seringkali menjadi target persekusi (Encarta Enciclopedia, 2004)
Peristiwa-peristiwa dalam cerita pendek ini tidak lepas dengan model sistem  politik yang dibangunnya. Dalam sistem politik otoriter kebijaksanaan itu merupakan skenario dari seorang diktator. Otoriter pada mulanya memiliki pengertian berkuasa sendiri, sewenang-wenang (Ali, 2005:805). Dalam psikologi politik, otoriter memiliki beberapa komponen: bersikap dogmatis, perintah-perintah yang dipaksakan, sikap mengacuhkan hak-hak atau kebebasan masyarakat sipil, semangat fanatisme untuk menciptakan "permusuhan", dan sikap tidak toleran terhadap kelompok 'etnis' lain (Farnen, 2000:11). Gambaran tersebut terlihat pada cuplikan berikut.

Namun yang selalu membuatnya tersentak adalah bentakan-bentakan itu. Bentakan-bentakan yang sangat menghina, bentakan-bentakan yang hanya diucapkan oleh seorang yang merasa dirinya mempunyai kekuasaan mutlak atas nasib orang-orang yang dibentakknya (R,55).
"Bukan korban itu my friend, yang jadi piutang, tapi keangkuhannya itu Bung, keangkuhan merasa diri paling benar itulah penghinaan besar pada kemanusiaan (K, hal.98).
Ideologi kami tidak menerima pertanyaan. Tidak bisa tidak, ideologi kami selalu benar, sempurna, dan tanpa kesalahan. Hanya dengan menganutnya secara fanatik dan militan, kita bisa menghancurkan musuh-musuh kita. Janganlah berkata lagi (K hal.99).

PENUTUP
Sebagai penutup tulisan ini dapat diungkapkan bahwa membaca kumpulan cerpen Saksi Mata, seraya kita melihat kekaguman yang meluas terhadap efisiensi "model militer" dan sekaligus pelecehan terhadap harga diri dan martabat manusia. Dalam sistem politik otoriter, penguasa menempatkan militer, seperti dalam teologi kristen, sebagai premogenetus, putra sulung yang mendapat hak istimewa yang diberikan oleh "Bapak". Siapapun yang membakang  kebijakan penguasa akan berhadapan dengan putra sulung untuk menghancurkannya. Sementara itu, posisi militer sudah jelas: militer  didisipinkan, hubungan perintah dan ketaatan dibentuk dan dilaksanakan dengan cara yang tegas, dan kecaman terhadap peraturan militer sangat dibatasi.    
Kumpulan cerpen ini menjadi menarik karena dua hal, pertama disajikan dengan gaya ironi dan kedua bersifat universal. Dengan gaya ironi dapat dibeberkan kesewenang-wenangan milliter yang sedetail-detailnya dan tidak mungkin arogansi itu berani diketahui masyarakat umum. Sastra merupakan bentuk yang paling ampuh untuk menelanjangi kebijakan kekuasaan pada saat bentuk-bentuk retorika yang lain dibungkam (Ajidarmo, 1997). Di samping itu, peristiwa-peristiwa dalam cerita ini dapat dijadikan data sejarah yang tidak mungkin ditulis dalam buku sejarah.
Sedangkan bersifat universal, dalam cerita ini secara eksplisit tidak menyebutkan tempat tertentu yang menjadi objek cerita pada dunia realita sehingga bisa mewakili potret pemberlakuan militerisme secara umum, di belahan bumi manapun. Pemberlakuan militerisme untuk menyelesaikan konflik dengan kelompok sektarian  selalu diwarnai oleh penyiksaan yang sadis dan pembantaian massal. Misalnya pembantaian masal di Irak terhadap suku bangsa Kurdi, rezim militer di Mianmar, Korea Utara, Cechna, Bosnia, Serbia, dan Israel. Karena bersifat universal dan berkaitan dengan HAM inilah buku Saksi Mata juga terbit di Australia.dan beberapa cerpen di terjemahkan dalam bahasa Inggris, Belanda, dan Jepang, serta terbit di jurnal-jurnal luar negeri

 
DAFTAR RUJUKAN

Ajidarmo, Seno Gumiro.  2005. Saksi Mata. Yogyakarta: Bentang Budaya..
Ali, Hasan. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Edisi 3). Jakarta.  : Balai Pustaka,
Dhakidae, Daniel.. 2000."Etika sebagai Kewajiban Politik, Kekerasan, dan Negara Orde Baru". Makalah yang disampaikan di Istana Negara pada 13 Desember  2000.
Encarta Enciclopedia, 2004.
Farnen, Russel and Meloen Jos D. 2000. Democracy, Authoritarianism nad Education London: Macmillan Press LTD
Luxemburg. 1986.  Pengantar Ilmu sastra . Jakarta: Pustaka Jaya.
Machiavelly, Niccollo. 2005. The Prince.  New York: Oxford University Press.
Macridis, Roy C. dan Bernard E. Brown. 1986. Perbandingan Politik. Jakarta: Erlangga.
Marriot, W.K. 1908. Niccollo Maciavelly's Political Thought om The  Prince (Excepts). London. J.M. Dent & Son.
Mulder, Niel. 2003. Southeast Asian Images Towarrds Civil Society. Bangkok.: Printing
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori kesusastraan. (Terjemahan Eka Budianta) Jakarta:                     PT Gramedia Pustaka Utama.


CLICK menuju DAFTAR ISI atau menuju ADI, bisa juga menuju AMBARA

Technorati Tag militarism, sectarian, sadism, paranoia, and persecution, militerisme, sektarian, sadisme, paranoid, dan persekusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar