Selasa, 22 November 2011

ARTIKEL 7 (Cicilia Tantri Suryawati)

BUSHIDO MENURUT MIYAMOTO MUSASHI
DALAM NOVEL MUSASHI KARYA EIJI YOSHIKAWA

Cicilia Tantri Suryawati
Universitas Dr. Soetomo, Surabaya

Abstract: The study aimed to find out the characterization and the principle of bushido Miyamoto Musashi and his background of thinking and reacting process. It used a descriptive qualitative design. The source of the data was the novel entitled Musashi by Eiji Yoshikawa. The results of the analysis were (1) Musashi was high and has good body flexibility. Musashi was not a neat person and he did not to take care of his appearance. The characters of Musashi were an idealist, friendly, wise, person and always used the psychological principle in facing his enemies. (2) There were four backgrounds of his thinking and reacting process, they were peace-bringer sword, wood sword, mind depletion, and circle. (3) The bushido principles used by Musashi in defeating his enemies were courage, pride, polite behavior, honesty, and self control. Those principles were the same as bushido principles told by Inazo Nitobe.

Keywords: characterization, Bushido, Musashi

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakterisasi dan prinsip bushido Miyamoto Musashi dan latar belakang pemikiran dan proses bereaksi. Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif kualitatif. Sumber data adalah novel berjudul Musashi oleh Eiji Yoshikawa. Hasil analisis adalah (1) Musashi tinggi dan memiliki fleksibilitas tubuh yang baik. Musashi bukan orang rapi dan dia tidak mengurus penampilannya. Karakter Musashi adalah seseorang yang idealis, ramah, bijaksana, dan selalu menggunakan prinsip psikologis dalam menghadapi musuh-musuhnya. (2) Ada empat latar belakang pemikiran dan proses bereaksi, yakni: pedang pembawa perdamaian, pedang kayu, deplesi pikiran, dan lingkaran. (3) Prinsip-prinsip bushido yang digunakan oleh Musashi dalam mengalahkan musuh-musuhnya adalah keberanian, kebanggaan, perilaku sopan, kejujuran, dan kontrol diri. Prinsip-prinsip tersebut sama dengan prinsip bushido yang diceritakan oleh Inazo Nitobe.

K
ata kunci: karakterisasi, Bushido, Musashi


PENDAHULUAN
Miyamoto Musashi, pemain pedang legendaris di Jepang, hidup antara tahun 1584—1645 (King, 1993:113) adalah seorang pemain pedang yang tak terkalahkan. Antara usia 13 tahun hingga 29 tahun, dia mengejar kejayaan melalui kekuatan pedang. Setelah melampaui usia 30 tahun dia lebih banyak mempelajari seni-seni budaya, dan pada tahun 1643 Musashi mulai menulis buku dengan judul Gorin no Sho. Musashi meningal dunia pada tanggal 19 Mei 1645 (Wilson, 2006 : 195) di usia 61 tahun. Sebagai seorang maestro pedang, banyak kisah yang berkembang tentang Musashi, mulai dari legenda, film, naskah dalam kabuki, maupun dalam bentuk novel.
Periode awal kehidupan Musashi dianggap berakhir dengan duel dramatis antara Musashi dengan Sasaki Kojiro. Baik Musashi maupun Kojiro adalah dua orang ahli pedang yang sangat terkenal dan sama-sama disegani pada jamannya. Keduanya memiliki watak yang berbeda. Musashi, ronin, terus menempa dirinya ditengah-tengah alam, hidup dalam masyarakat kebanyakan, sementara Kojiro adalah seorang abdi utama pada keluarga Hosokawa, hidup di kalangan samurai tingkat atas. Perseteruan keduanya yang diawali dengan pertemuan tidak sengaja, dan mereka saling memahami bahwa lawannya adalah ahli pedang yang tangguh. Keduanya terus memendam hasrat ingin menjajal kekuatan lawan hingga bertahun-tahun, sampai akhirnya dicapailah kesepakatan untuk melalukan pertarungan di pulau Funashima.
Bushido dalam huruf Kanji tertulis atas dua bagian yaitu 「武士」(bushi) dan 「道」(doo). 「武士」(bushi), terdiri dari 「武」Buberarti pemberani dan kuat, atau tidak ragu-ragu dalam bertindak. Shi diartikan sebagai laki-laki atau samurai, atau juga bermakna seorang ahli. Sementara dilihat dari pembentukannya doo Kanji ini memiliki arti jalan, jalan dalam makna sebenarnya yaitu tempat yang harus dilalui oleh manusia. Dalam pemikiran Konfusius kanji ini berarti moral atau etika. Dari asal usul kanjinya, Bushido dapat diartikan sebagai sebuah etika yang menjadi landasan berpikir dan bertindak bagi para ahli militer atau dalam golongan masyarakat di Jepang disebut juga dengan samurai atau kesatria.
Pemerintahan di Jepang yang berpusat pada kelas bangsawan berakhir sejak Minamoto Yoritomo (1147~1199) mendirikan pemerintahan Bakufu di Kamakura dan terus berlangsung hingga akhir pemerintahan Edo (1542~1854). Sekitar 700 tahun Jepang berada di bawah pemerintahan militer dengan penguasa tertinggi adalah Shogun. Sejak itulah aturan-aturan mengenai jalan seorang samurai lahir dan selama 700 tahun itu pulalah pemikiran-pemikiran mengenai Bushi / Kesatria dikembangkan di Jepang. Dengan mengetahui konsep dari Bushido kita akan mengetahui inti dari jiwa orang Jepang.
Karena merupakan inti jiwa orang Jepang,  konsep Bushido tidak akan aus dimakan zaman hanya saja tentu mengalami perubahan searah dengan zaman. Dengan demikianm bushido ini tidak hanya digunakan untuk membahas novel-novel zaman feodalisme, tetapi juga untuk mempelajari manusia Jepang.
Berdasarkan fenomena tersebut, ada tiga fokus dalam penelitian ini: (1) unsur penokohan Miyamoto Musashi, (2) latar belakang proses berpikir dan  bertindak Miyamoto Musashi, dan (3) prinsip bushido Musashi dalam menaklukkan musuhnya.

METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Kirk dan Miller berpendapat bahwa penelitian kualitatif  adalah suatu bentuk tradisi dalam ilmu pengetahuan sosial (ibid),  Pendapat tersebut sejalan dengan Sunarto (2001:134) yang menyatakan bahwa penelitian kualitatif banyak digunakan dalam bidang ilmu-ilmu sosial untuk mengungkap konsep-konsep.
Selain itu, juga digunakan pendekatan intrinsik untuk memotret unsur-unsur penokohan pendekatan ekstrinsik untuk mendeskripsikan latar belakang pemikiran Miyamoto Musashi serta prinsip-prinsip bushidoo yang dijalankan oleh Miyamoto Musashi. 
Sumber data utama dalam penelitian ini adalah novel Musashi karya Eiji Yoshikawa, cetakan tahun 1996. Novel Musashi terdiri dari delapan buku, buku yang digunakan sebagai sumber data utama adalah buku delapan, “Enmei”, sementara buku satu hingga tujuh dijadikan sumber data penunjang ditambah dengan sumber-sumber tertulis lainnya.  

PEMBAHASAN
Tokoh Musashi dalam penelitian ini dikaji melalui aspek sastra dan aspek bushido. Kajian sastra merupakan landasan bagi kajian bushido. Kajian sastra mengungkapkan unsur penokohan sedangkan kajian bushido mengungkapkan proses berpikir dan bertindak tokoh Musashi dan hal-hal yang melatarbelakanginya.

Unsur Penokohan
Penokohan mencakup tokoh cerita, perwatakan serta penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2005:166). Kepribadian seorang tokoh berdasarkan kata-kata dan tingkah laku. Sementara pembedaan antara tokoh yang satu dengan yang lain ditentukan oleh kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik.
            Analisis unsur penokohan dalam diri Miyamoto Musashi berlandaskan pada teori Wellek dan Waren (1995:19) serta Nurgiyantoro (2005:166) yang menyatakan bahwa tokoh dalam novel muncul dari kalimat-kalimat yang mendeskripsikannya, dan dari kata-kata yang diletakkan di bibirnya. Berdasarkan teori tersebut, yang akan diamati adalah (1) penampilan fisik tokoh, (2) watak tokoh. Keduanya berdasarkan pada ucapan tokoh dan tokoh lain tentang tokoh tersebut.

Penampilan Fisik Tokoh
Musashi memiliki postur tubuh yang tinggi. Di awal cerita disebutkan secara gamblang bagaimana postur tubuh Musash
「五尺六、七寸はあるだろう、武蔵は背がすぐれて高かった、よく駈ける駿馬のようである。脛も腕も伸々としていて、唇が朱い、眉が濃い、そしてその眉も必要以上に長く、きりっと眼じりを越えていた」(吉川、1996130

“Takezoo memiliki tubuh 1,75 meter, cukup jangkung untuk orang sezamannya. Tubuhnya seperti tubuh kuda yang indah: kuat dan lentur, dengan kaki panjang berotot. Bibirnya penuh, berwarna merah tua, dan alisnya yang hitam tebal jadi tampak tidak lebat karena bentuknya yang indah. Karena jauh melampaui sudut-sudut luar matanya, alis itupun menambah kejantanannya”.
Kesederhanaan Musashi dalam penampilan tidak hanya ditunjukkan pada saat Musashi mengawali pengembaraan nya saja, tetapi juga saat akan melakukan pertempuran hidup mati melawan Kojiro. Disebutkan bahwa dalam menghadapi Kojiro, Musashi lebih suka mengenakan kimono sederhana yang disiapkan oleh Otsuru, anak saudagar kapal Tarozaemon.
Keadaan Musashi berbanding terbalik dengan Kojiro yang tampak megah, menggambarkan statusnya sebagai seorang abdi utama di keluarga Hosokawa, samurai penting pada masa pemerintahan Tokugawa. Kojiro disebut kan mengenakan kimono sutra berlengan sempit warna putih mantap, dengan pola bergambar timbul. Kimono itu ditutupi jubah tanpa lengan, warna merah cemerlang. Hakamanya terbuat dari kulit warna ungu, dari jenis yang disimpul di bawah lutut, ketat di bagian betis. Sandal Jeraminya tampak dibasahi sedikit agar tidak licin.
Penampilan yang berbeda dari kedua tokoh tersebut menggambarkan keadaan kejiwaan yang berbeda pula. Mengenai pelukisan Fisik, Nugiyantoro (2005:210) menyebutkan “Penampilan Fisik seseorang sering berkaitan dengan kejiwaannya, atau paling tidak, pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan adanya keterkaitan itu”. Berdasarkan teori Nurgiyantoro tersebut dapat dilihat bahwa secara kejiwaan Musashi tidak ingin menonjolkan penampilan fisiknya di hadapan orang lain. Berbeda dengan Kojiro yang ingin dilihat oleh orang-orang disekitarnya bahwa ia adalah seorang samurai yang memiliki kedudukan tinggi di perdikannya.

Watak Tokoh
(a) Idealis.
Gudo seorang guru Zen memberikan gambaran mengenai ronin sejati    adalah seorang yang tidak mencari kemasyhuran atau keuntungan, tidak menjilat orang berkuasa, tidak mencoba menggunakan kekuatan politik untuk mencapai tujuan-tujuan sendiri, tidak mengecualikan dirinya dari penilaian-penilaian moral.
Pada  umumnya seorang samurai menginginkan hidup tenang, mengabdi pada seorang daimyo dengan penghasilan yang pasti, tetapi tidak pada Musashi. Musashi lebih suka menjadi seorang shugyosha (samurai pengembara) mematangkan keahlian dalam seni pedang juga senang mempelajari seni-seni yang lainnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Yukio Mishima, bahwa samurai sejati adalah samurai yang menguasai seni perang dan budaya atau dalam bahasa Jepang disebut dengan bunbu ryodoo.
Bagi Musashi memberdayakan masyarakat miskin atau yang tertindas sama halnya dengan mengajari murid di dojo.
「てまえはまた、そういう武名とは異なって、江戸在府のころ、下総の土地で土民を育成し、荒蕪の地を開墾しておるめずらしい心がけの牢人があると耳して、会ってみたいと、探してみたところ、もう土地におらぬ」(吉川、199620)

“Musashi sekali lagi berbeda dengan bushi terkenal lainnya. Ketika saya melakukan tugas di Edo, saat itu dia berada di Shimosa, memberikan pelajaran kepada kepada sejumlah orang desa, tentang cara mempertahankan diri dari bandit-bandit, juga dia membantu mereka mengubah tanah gersang menjadi sawah”
Bagi Musashi hidup di antara orang miskin yang masih bodoh tetapi tulus dalam bertindak lebih berharga daripada hidup di tengah-tengah kaum bangsawan yang kaya dan berpengaruh tetapi tidak memiliki ketulusan dalam bertindak. Semua yang dilakukan oleh Musashi sesuai dengan yang dicita-citakannya mengenai jalan pedang yaitu,

 「剣と人倫、剣と仏道、剣と芸術あらゆるものを、一道と観じすれば剣の真髄は、政治の精神にも合致する。 ……それを信じた。」(吉川、VII. 1996292

”Pedang dan moral masyarakat, pedang dan ajaran Budha, pedang dan kesenian adalah satu jalan, dan itu adalah inti dari ajaran pedang. Sehingga seharusnya semangat pemerintahanpun termasuk di dalamnya. Dan saya mempercayai itu.”
      
(b) Ramah
Sebagai seorang Shugyoosha, Musashi tidak pernah menetap lama di suatu tempat. Berkelana ke berbagai tempat memperluas perspektifnya mengenai lingkungan serta mengenai umat manusia. Banyaknya waktu yang dilewati Musashi di perjalanan menunjukkan salah satu dari watak Musashi, yaitu ramah. Dalam pengembaraannya Musashi diterima sebagai seorang tamu yang menarik dan berharga baik di rumah seorang petani yang tidak tahu bahwa dia adalah seorang pendekar yang handal ataupun di puri seorang daimyo yang memang telah tahu reputasinya.
Sebagai seorang Shugyousha, dalam melaksanakan pengembaraannya Musashi membayar dengan mengajarkan menulis atau membuatkan surat sebagai ganti atas makanan yang ia terima dan tumpangan tidur yang didapatkannya, atau meninggalkan lukisan atau patung yang dia buat sendiri sebagai ganti pembayaran uang.
Demikian pula ketika akan menuju ke Funashima, tempat Musashi melaksanakan pertempuran dengan Kojiro, Musashi memberikan lukisan yang dia buat pagi hari sebelum berangkat sebagai ucapan tanda terima kasih karena Musashi telah menginap di tempat Tarozaemon, saudagar kapal di Osaka.

(c) Bijaksana.
Memikirkan perasaan, kehormatan, ataupun kedudukan orang lain juga merupakan salah satu watak dari Musashi. Seperti yang dikatakan Gudo mengenai gambaran seorang ronin sejati adalah dia orang yang berpikiran luas, tidak mencoba menggunakan kekuatan politik untuk mencapai tujuan-tujuan sendiri.
Musashi tidak ingin mempermalukan Sado di hadapan Yang Dipertuan Tadatoshi bila sampai dia kalah dalam pertempuran ini, juga Musashi tidak ingin menempatkan Sado berseberangan dengan Tadatoshi karena Kojiro ada di pihak Tadatoshi.

「ありがたいお言葉ですが、船島の土になるやも知れぬ身に、一夜二夜の宿緑を、ここかしこに残しては、去る身も後の人々も、かえって煩わしいと思われますれば」吉川、1996277

“Terimakasih atas undangan ini, tapi saya kira saya tak bisa menerimanya. Dalam beberapa hari ini, barangkali saya akan tidur buat selamanya. Saya pikir tidak benar, kalau sekarang saya membebani orang lain. Itu bisa menjadi hal memalukan di belakang hari”

(d)Menggunakan prinsip psikologi dalam menghadapi musuhnya.
Dalam menghadapi musuhnya Musashi senantiasa merenungkan hubungan kerangka berpikir lawan dengan kerangka berpikirnya sendiri, dan hubungan antara kerangka berpikirnya dengan pertempuran itu sendiri. Dalam beberapa pertarungannya terlihat Musashi membaca dahulu keadaan kejiwaan lawannya sebelum mengadakan pertempuran hidup dan mati.
Dalam pertempuran menghadapi Kojiro, Musashi tidur nyenyak sampai melebihi waktu kesepakatan pertempuran, sementara itu, Kojiro dan para pengikutnya, dengan berbusana resmi, menunggu di pulau itu di bawah terik matahari yang panas. Musashi tahu bahwa Kojiro memiliki sifat yang tidak ingin diremehkan oleh siapapun. Kojiro selalu beranggapan bahwa dirinyalah yang terbaik, dan dirinyalah yang harus menjadi pusat perhatian. Sifat ketidaksabarannya ini diuji dengan diharuskan menunggu Musashi dalam keadaan yang serba tidak mengenakkan.
Pada saat perahu Musashi muncul di cakrawala, Kojiro begitu gusar karena dipaksa menunggu begitu lama dalam keadaan yang sangat tidak nyaman. Ketika perahu Musashi mendekat, Kojiro menyongsongnya, dengan marah Kojiro menyebut strategi Musashi ini adalah strategi pengecut. Tapi Musashi menanggapinya dengan diam. Kemudian dengan gusar Kojiro menarik Galah Pengering yang besar itu. Dengan tangan kiri ia loloskan sarung pedang dan dilemparkan ke air.

LATAR BELAKANG PROSES BERPIKIR DAN BERTINDAK MUSASHI

 Pedang Pembawa Kedamaian
Setelah melewati tahun-tahun awal pengembaraannya sebagai seorang pemain pedang pengembara, di mana saat itu menaklukkan saingannya adalah harapannya. Tetapi setelah merenungkan kembali hakekat Jalan Samurai, ia tidak lagi puas pada jalan pikiran yang mengatakan bahwa pedang ada di dunia untuk memberi kekuasaan pada orang lain. Merobohkan orang, membuktikan kejayaan kepada mereka, memamerkan batas kekuatan diri. Semua itu makin terasa sia-sia olehnya. Jalan pedang tidak boleh dipergunakan semata-meta untuk menyempurnakan keahlian berpedang. Ia harus menjadi sumber kekuatan untuk menguasai orang banyak, dan memimpin mereka kearah perdamaian dan kebahagiaan.
Prinsip-prinsip ilmu pedang demi perdamaian dan kebahagiaan masyarakat luas. Cita-cita itu pula yang membuat Musashi bersedia dicalonkan untuk menjadi instruktur pedang bagi keluarga Shogun dengan harapan dia mengajarkan prinsip-prinsipnya itu. Tetapi setelah diamati lebih lanjut terutama pengalamannya dipenjara di Chichibu atas dugaan mata-mata. Musashi merasa cita-citanya untuk menciptakan dunia yang damai masih jauh dari harapannya. Edo dan Osaka masih saling mencurigai, dan ada kemungkinan perang akan terjadi lagi. Karena merasakan prinsipnya masih jauh dari harapannya, dan ketika pengangkatannya untuk menjadi guru pedang di istana Shogun ditolak oleh kementerian Shogun karena fitnah yang dilontarkan oleh Osugi, ibu Matahachi, kepada para menteri di istana, Musashi merasakan kebahagiaan yang besar.
「剣と人倫、剣と仏道、剣と芸術あらゆるものを、一道と観じすれば剣の真髄は、政治の精神にも合致する。 ……それを信じた。」(吉川、VII. 1996292

“Pedang dan moral masyarakat, pedang dan ajaran Budha, pedang dan kesenian adalah satu jalan, dan itu adalah inti dari ajaran pedang. Sehingga seharusnya semangat pemerintahanpun termasuk di dalamnya. Dan saya mem-percayai itu.”
Jalan pemerintahan tidak hanya bersangkutan dengan Seni Perang semata. Sistem politik yang sempurna harus didasarkan pada perpaduan sempurna antara seni militer dan seni sastra. Jalan pedang yang pokok adalah membuat dunia ini hidup dalam damai. Dengan keahlian dan pengalaman yang dimiliki, Musashi berharap dapat menegakkan perdamaian sehingga kemakmuran dapat dicapai oleh seluruh rakyat. Dan bila rakyat dapat hidup makmur dan damai, maka kebahagiaan akan datang.

Pedang Kayu
Perubahan prinsip hidup Musashi dari pedang untuk merobohkan lawan kepada pedang pembawa kehidupan dibawanya saat menghadapi pertarungan antara dirinya dengan Kojiro. Saat menghadapi Kojiro Musashi tidak membawa pedang panjangnya melainkan pedang yang dibuatnya dari dayung yang rusak yang diambilnya dari perahu yang dia naiki ketika menuju ke pulau Funashima.
「右手には、櫂を削って木剣とした手作りのそれを握った。」吉川、    (1996355
“Dengan tangan kanan ia genggam pedang kayu yang ia buat dari dayung rusak tadi”
            Ada beberapa pemikiran dari diri Musashi dengan pedang kayu ini. Selain itu perubahan prinsip hidup `pedang sebagai pembawa kehidupan` dan kenyataan dalam dirinya bahwa Kojiro bukan musuhnya, sehingga tujuan dari pertarungan ini bukan kematian Kojiro melainkan untuk pemantapan teknik. “Tidak ada permusuhan antara dia dan lawannya, pertarungan itu merupakan suatu perbandingan teknik” (Wilson, 2006”51)
            Musashi sangat paham akan watak Kojiro yang sangat menyukai Galah Pengering. Kojiro selalu membanggakan pedang tersebut, dan bangga akan panjangnya. Kebanggaan Kojiro ini dirampas oleh Musashi dengan menggunakan pedang kayu yang dibuat dari sebuah dayung, yang sedikit lebih panjang dari Galah Pengering. Jauh setelah pertarungan ini Dalam bukunya, Gorin no Sho, Musashi mengatakan “jangan terpaku pada alat”. Pedang hanya sebagai alat, sementara jiwa pedang ada dalam hatinya.

Pengosongan Pikiran
Bulan keempat tahun 1612, Musashi berlayar menuju Kokura di Provinsi Buzen. Di pulau Funashima di selat Nagato di Buzen Musashi akan berhadapan dengan Sasaki Kojiro, untuk menguji ketrampilan dan kematangannya. Semua orang berpendapat bahwa pertarungan ini adalah pertarungan hidup dan mati.
Hingga waktu yang ditentukan, ketika Sasaki Kojiro tengah melangkah dengan megah menuju perahu yang disediakan oleh Yang Dipertuan Tadatoshi, なにが荘重なものを見ていた」吉川、1996309“Hari itu Kojiro tampak megah, hampir-hampir indah”. Karena merasa memperoleh dukungan dari berbagai pihak, Kojiro merasa bahwa dirinya setingkat di atas Musashi. Keyakinan akan kemenangan tergambar begitu nyata di wajah Kojiro.
Di lain pihak, pendukung Musashi tidak tahu di manakah Musashi berada. Dalam kepanikan dicarinya Musashi ke rumah Tarozaemon, ternyata Musashi baru bangun dari tidur. Dia bangun dengan tidak merasa terbebani oleh pertempuran yang akan dia hadapi beberapa saat lagi.
「十分、熟睡をとった彼のひとみは、嬰児の眼のようにきれいだった。」(吉川、1996300301“Ia tampak tenang sekali matanya sejernih mata bayi”.
“Ketenangan perilaku, pengendalian batin tidak boleh terganggu oleh nafsu apapun” (Nitobe, 1992:72) adalah wujud dari pengendalian diri seorang samurai.
Setelah berhasil membuat dua lukisan, satu dia berikan kepada Tarozaemon, pemilik kapal, dan satu lagi ia berikan kepada Sasuke, pendayung perahu yang mengantarkan Musashi ke pulau Funashima tempat dilangsung kannya pertempuran. Hal tersebut sama dengan pendapat Confusius, bahwa seni memiliki daya untuk membebaskan roh dan mengentaskan kemanusiaan menuju yang terbaik. (Simpkins. 2000:81). Melukis merupakan salah satu cara untuk meditasi. Dengan meditasi ini pikiran menjadi bening dan tidak banyak mengalami gangguan. Meditasi dapat meningkatkan konsentrasi, sehingga dapat memusatkan perhatian dengan lebih baik ketika ingin melakukan sesuatu (Simpkin, 2000:103).
Setelah merasakan dirinya terbebas dari pikiran-pikiran yang mengganggu, maka berangkatlah Musashi, naik perahu menuju ke pulau Funashima.
「佐助には、分からなかった。武蔵のあまりにも淡々とした姿が。空をゆく一片の白雲。」(吉川、(1996345
“Musashi menurut pendapat Sasuke, seperti awan putih yang mengapung di langit”
Cheng Hao seorang filsuf Cina mengatakan “alam tetap tenang ketika sedang melakukan kegiatan maupun ketika sedang diam” (Simpkin, 2000:106). Sifat alami kita yang asli dapat tetap tenang , bahkan ketika berada di tengah kegiatan. Begitu duduk hening menjadi suatu kesatuan jiwa yang nyaman, maka kenyamanan itu dapat dibawa kedalam kehidupan sehari-hari untuk membimbing pikiran kembali ke pusat ketenangan sepanjang hari. Demikian halnya dengan Musashi. Setelah mendapatkan kenyamanan dengan duduk hening, menuangkan segala pikiran ke dalam kanvas, maka ketenanganlah yang ada pada dirinya. Dalam bukunya Gorin no Sho, tentang unsur penting dari seni bela diri dan strategis, Musashi menuliskan “Yang pertama dari prinsip-prinsip dasar ini adalah tetap tenang dan jernih dalam batin, bahkan di tengah-tengah kekacauan yang penuh kekerasanpun (Cleary, 2004:19)
Ketika masuk ke dalam perahu yang membawanya ke tempat pertempuran, Musashi sudah tidak memikirkan pertempuran tersebut, pikiran-pikiran yang mengganggu telah ia tumpahkan dalam kanvas, dan sekarang ia dalam keadaan kondisi pikiran normal. Keadaan tersebut berbeda dengan Kojiro. Kojiro pergi dengan pikiran “Aku harus menang. Harus, harus” (Yoshikawa, 2003:1212). Hasrat harus menang memenuhi seluruh pikirannya dan menjadikan beban psikologisnya.
      
Lingkaran
      Dalam kegelisahan Musashi mengharapkan dapat bertemu dengan Gudo, mengharapkan sedikit wejangan untuk menghalau kegundahan hatinya. Setelah menanti beberapa bulan dan akhirnya bertemu, Gudo tidak mengucapkan apa-apa hanya menggambar lingkaran disekeliling tubuh Musashi.
何の円吉川、1996138
“Lingkaran? Apa pula artinya ?”

Lingkaran!.
Dari manapun memandangnya garis melingkar itu adalah lingkaran. Tanpa ujung tanpa akhir, bila diluaskan tanpa batas ia akan menjadi alam semesta. Kalau dikerutkan, akan sama dengan titik kecil tempat jiwa bersemayam. Jiwa itu bulat, alam semesta itu bulat. Bukan dua melainkan satu. Tatkala manusia bergerak lingkaran itu tetap, alam semesta tetap, jiwanya juga tetap, gerakan hanya membentuk bayangan bukan jiwa sejatinya.
Lingkaran sempurna, menurut Lao Tze melambangkan kebenaran tertinggi yang di sebut dengan Tao. Tao di langit adalah kebenaran sejati, Firman, Sang Pencipta, Maha Esa dan Maha Kuasa. Sedangkan Tao pada manusia adalah watak sejati, roh, hati nurani, kesadaran agung dan semangat sejati. Sementara itu Tao di bumi untuk membantu kehidupan, memiliki lima unsur yaitu kayu, api, tanah, air, dan logam. 
Semangat sejati, itulah yang dimiliki oleh Musashi dalam menghadapi musuhnya. Semangat sejati dalam bentuk lingkaran seperti yang disimbolkan oleh Gudo dapat diperluas hingga tak terhingga demikian juga kekuatan yang dilandasi dengan semangat sejati akan menjadi suatu kekuatan yang maha besar.

 
PRINSIP BUSHIDO MUSASHI DALAM MENAKLUKAN MUSUHNYA

Keberanian
Keberanian seorang samurai harus didasari oleh kejujuran serta akal sehat,  tidak melakukan kecerobohan maupun kecurangan. Menjerumuskan diri ke dalam kancah pertempuran dan mati tidak serta merta dapat disebut berani. Sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang pangeran dari Mito (Nitobe, 1992:24) Menjerumuskan diri ke dalam kancah pertempuran dan terbunuh di dalamnya bukan suatu tindakan keberanian, bahkan mati seperti itu dapat dikatakan sebagai mati konyol.
Sementara Musashi mengatakan 「『勘』は、無知な動物にもあるから、無知性の霊脳と混同され易い」(吉川、1996104”Naluri seorang prajurit tidak boleh dikacaukan dengan naluri binatang”. Naluri datang dari gabungan kebijaksanaan dan disiplin. Naluri prajurit merupakan penalaran terakhir yang melebihi akal dan  merupakan kemampuan untuk melakukan gerakan yang benar dalam sekejap mata, tanpa mesti melewati proses berpikir biasa.
逃げては、武士道が廃りを示しては、わし独りの恥ではない。世人の心を堕落させる」(吉川、1996276

” ... lari berarti meninggalkan jalan samurai. Itu akan mendatangkan aib tidak hanya bagi diriku, tapi juga bagi orang-orang lain”

Setelah melalui proses perundingan yang cukup lama maka disepakatilah hari, jam, dan waktu pertarungan. Setelah melalui semua itu maka ”lari” berarti mengingkari perkataannya sendiri, dan hal tersebut berarti aib yang tidak akan hilang selamanya. 武士の一言(Bushi no ichigon, perkataan seorang samurai merupakan jaminan yang memadai bagi kebenaran suatu pernyataan (Nitobe, 2000:116)
Tidak selamanya lari meninggalkan musuh adalah tindakan pengecut yang mendatangkan aib menurut jalan samurai. Jika perkelahian dilakukan bukan untuk membela kehormatan dan nama baik, maka menghindar dari perkelahian atau lari adalah pilihan yang terbaik.
Pertarungannya dengan Kojiro adalah pertarungan antara dua orang samurai untuk mempertahankan kehormatan dan nama baik, sehingga, lari adalah meninggalkan jalan seorang samurai. 「生きるべきときに生き、死ぬべき時に死ぬことこそ、真の勇気なのである」Keberanian adalah berani hidup bila harus hidup dan berani mati bilang memang harus mati” (Nitobe, 200068).
      「よしないことに生命は捨てるなよ」(吉川、1996276 ”Hindari terlibat perkelahian yang akan berakhir dengan membuang nyawa”. Tidak hanya nyawa diri sendiri, melainkan  nyawa lawan pun jangan dibuang secara sia-sia. Inilah sebenarnya esensi seni pedang Musashi setelah bertahun-tahun menjalani hidup sebagai seorang shugyosha dan mempelajari makna seni pedang secara mendalam, bahwa pedang tidak digunakan untuk tujuan membunuh orang, tetapi justru untuk menguatkan baik diri sendiri maupun lawan. Dan hal inilah yang memang dia lakukan setelah pertarungannya dengan Kojiro, seperti yang ditulis dalam biografinya, Setelah pertarungannya dengan Kojiro, Musashi tidak pernah membunuh lawannya, yang dilakukan hanyalah mengurung gerakan lawan dengan teknik pedangnya.
        
Kehormatan
Keberanian yang sejati adalah bila digunakan untuk menjaga kehormatan dan nama baik sebagai seorang samurai. Sejak kecil seorang samurai dididik bahwa kehormatan adalah kemuliaan pribadi yang harus dijunjung tinggi, meliputi (na) yang berarti nama, 面目(menmoku) kehormatan, 外聞(gaibun) pandangan luar (Nitobe, 2000:130). Pelanggaran terhadap integritasnya dirasakan sebagai aib atau rasa malu,  dan kesadaran akan aib disebut dengan 廉恥心 (renchishin)(ibid). Renshichin telah ditanamkan sejak dini ke dalam jiwa para samurai.
Bagi Musashi pertarungannya dengan Kojiro tidak hanya menjaga nama baik dirinya sendiri, melainkan juga nama baik dan kehormatan bagi orang yang telah merekomendasikannya, yaitu Nagaoka Sado, abdi senior pada keluarga Hosokawa, selain juga nama baik orang-orang yang mengenal ayahnya yang sekarang bekerja untuk Tadatoshi.
逃げては、武士道が廃りを示しては、わし独りの恥ではない。世人の心を堕落させる」(吉川、1996276

” ... lari berarti meninggalkan jalan samurai. Itu akan mendatangkan aib tidak hanya bagi diriku, tapi juga bagi orang-orang lain”

Rasa malu atau aib diilustrasikan sebagai goresan di pohon, yang semakin membesar beriring dengan waktu yang semestinya menghapuskannya 「不名誉は樹の切り傷のように、時がたてば消えるどころか、かえって大きくなる」(Nitobe, 2000;132). Selanjutnya Mencius mengatakan「恥を知る心は、義のはじまりであると言って」(hati yang mengenal rasa malu adalah awal dari segala kebaikan) (ibid;134). Karena itu seorang samurai pantang untuk menanggung malu, samurai dibesarkan dengan nilai-nilai kehormatan dan harga diri yang tinggi.

Sopan-Santun dan Kebajikan
Menjaga kehormatan tidak selamanya dilakukan dengan tindakan heroik. Melanggar sopan-santun yang sudah diterapkan juga dapat dikatakan mencoreng kehormatan. Setelah menunggu sekitar dua jam, akhirnya Musashi datang juga ke tempat yang telah ditentukan untuk pertarungan yaitu pulau Funashima. Saat semua mengetahui Musashi tiba, Kakubei bangkit tanpa disengaja sambil berkata 「来たか」(吉川、1996350”Apakah sudah datang?” Sebagai saksi resmi, seharusnya Kakubei tetap bersikap tenang dan menahan diri. Emosi yang ditunjukkan secara terang-terangan berarti memihak kepada salah satu pihak dan hal itu merupakan pelanggaran besar terhadap sopan-santun.
            Sopan-santun tidak hanya ditunjukkan lewat sikap yang ramah. Mematuhi etiket, atau menyatakan sikap hormat dengan penuh simpati terhadap perasaan orang lain merupakan dasar dari sopan-santun. Nitobe (2000:37) mengatakan”sabar menderita, tidak iri hati, tidak memegahkan diri, tidak sombong, tidak bertindak yang tercela, tidak mengejar kepentingan sendiri, tidak mudah terpengaruh, tidak membalas dendam” adalah dasar dari kebajikan. 
     Tidak mementingkan diri sendiri, tidak memanfaatkan kemashuran orang lain untuk kepentingan sendiri bersikap ramah penuh pertimbangan akan nama baik orang lain inilah yang membuat Musashi sebagai seorang shugyosha, yang menghabiskan waktu hampir selama empat puluh tahun menelusuri jalan-jalan di Jepang dalam rangka mempertajam naluri sebagai seorang samurai diterima baik di rumah petani yang sederhana, di kuil, bahkan di puri atau istana megah tempat para Daimyo.
            Kesopanan bila hanya digunakan sebagai alat untuk beramah-tamah akan melupakan kejujuran. Kesopanan akan benar-benar terjadi bila timbul dari kebaikan budi dan kerendahan hati dan didorong oleh perasaan lembut terhadap perasaan hati orang lain, akan merupakan bentuk simpati yang anggun. Dalam kehidupan sehari-hari orang akan mengatakan sebagai bentuk dari basa-basi.

Kejujuran dan Ketulusan Hati
            Tanpa kejujuran dan ketulusan hati dan keramah-tamahan akan menjadi suatu basa basi yang lucu. Lebih jauh Masamune  dalam Nitobe (2000:114) mengatakan ”Kesopanan yang dilakukan di luar batas-batas yang benar, menjadi sebuah tipuan”. Para samurai beranggapan bahwa kedudukan sosialnya yang tinggi itu menuntut adanya pola kejujuran yang lebih tinggi daripada yang ada pada pedagang atau petani.
            Malam menjelang hari pertempurannya dengan Musashi, rumah Kojiro dipenuhi dengan tamu yang datang dari berbagai penjuru negeri. Mereka memanjatkan doa bagi kemenangan Kojiro, membawa jimat-jimat yang dapat membuat Kojiro menang atau membawa hadiah sebagai bukti ketulusan mereka.
            Karena Kojiro seorang pejabat penting dalam suatu perdikan, maka tidak heran banyak yang memanfaatkan peristiwa ini untuk mencari muka.”Tamu begini banyak. Bagaimana kalau Bapak menolak berjumpa dengan mereka, supaya dapat beristirahat dengan baik?” ”Itu yang ingin kulakukan”. Dengan banyaknya tamu yang berdatangan ke rumah Kojiro, sebenarnya Kojiro merasa terganggu, tetapi keinginan untuk disanjung dan keinginan untuk menjadi orang penting sangat memenuhi hatinya sehingga dia mengingkari hati nuraninya sendiri. Pengingkaran terhadap hati nurani yang seperti yang dikatakan dengan ketidakjujuran. Tanpa kejujuran keramah-tamahan hanya akan menjadi suatu basa basi yang lucu.
            Sifat Kojiro ini merupakan pengingkaran terhadap hati nuraninya, dan dalam aturan Bushido ia tidak melakukan sesuatu dengan jujur padahal kejujuran adalah hal terpenting dalam semangat Bushido.
            Melakukan segala sesuatu dengan tulus. Samurai yang demikian disebut dengan Gishi, manusia yang memiliki ketulusan. Sebutan Gishi dianggap lebih unggul dari apapun yang menunjukkan keahlian dalam pengetahuan dan kesenian. Seorang samurai lain mengatakan ”kejujuran adalah kebijaksanaan yang terbaik” (Nitobe, 2000:60) dan kesopanan bila hanya digunakan sebagai alat untuk beramah-tamah akan melupakan kejujuran. Ketulusan dan kejujuran Musashi terlihat ketika dia menolak undangan Nuinosuke untuk bermalam di rumah Sado maupun penawaran Sado supaya Musashi naik perahu yang disediakannya, seperti pada kutipan-kutipan  sebelumnya.
            Ketulusan hati Musashi juga dapat dilihat ketika Osugi datang kepadanya menjelang keberangkatannya ke pulau Funashima untuk meminta maaf. Osugi yang telah membencinya sepanjang hidupnya, bahkan Osugi pulalah yang melontarkan fitnah tentang Musashi ke rumah-rumah para menteri Shogun sehingga pengangkatan Muashi dibatalkan. Tetapi dengan tulus Musashi memaafkannya. ”Tentu saya memaafkan, kalau nenek mau memaafkan saya atas semua kesulitan yang pernah saya perbuat ketika kecil”.
 
Pengendalian Diri dan Tugas Kesetiaan
Ketenangan perilaku, pengendalian batin tidak boleh terganggu oleh apapun  merupakan gambaran dari perwatakan yang luhur bagi kaum samurai. Dianggap tidak jantan bila seorang samurai menunjukkan emosi pada wajahnya. Setelah berhasil melakukan meditasi untuk pengosongan jiwanya, Musashi berangkat menuju Funashima dengan tenang, tidak ada beban dalam hatinya walaupun dia tahu musuh yang akan dihadapinya sangatlah tangguh dan pertarungan yang akan dihadapinya adalah pertarungan hidup dan mati.
Setelah dipaksa menunggu selama hampir dua jam, Kojiro menyongsong Musashi dengan gusar. Kojiro melampiaskan kemarahannya dengan kata-kata, mengatakan strategi Musashi adalah stategi pengecut yang tak berarti buat dirinya. Musashi menanggapi kemarahan Kojiro dengan diam. Dalam hal ini terlihat jelas bahwa Kojiro tidak dapat mengendalikan dirinya dalam menghadapi pertempuran dengan Musashi. Dalam kemarahan Kojiro tanpa sadar mengambil “Galah Pengering” nya, dan membuang sarung pedang itu ke laut. Di sini terlihat bahwa Kojiro tidak dapat mengendalikan emosinya, sehingga dia berbuat tergesa-gesa ingin segera mengakhiri pertarungan. Dan hasilnya Kojiro berhasil dikalahkan oleh Musashi.

PENUTUP
Dari penampilan fisiknya, Musashi memiliki tinggi tubuh yang relatif lebih besar dibandiing dengan rata-rata tinggi badan orang-orang sezamannya. Selain itu disebutkan bahwa Musashi memiliki kelenturan tubuh yang sangat menunjang profesinya sebagai pemain pedang. Hal yang membuat dia lain dari pemain pedang lainnya ialah tidak terlalu mementingkan penampilan luar. Sementara watak yang dimiliki oleh Musashi adalah idealis, ramah, bijaksana, tidak hanya mengandalkan teknik bermain pedang, tetapi juga menggunakan prinsip psikologi dalam menghadapi musuhnya.
Dari hasil analisis diperoleh empat latar belakang proses berpikir dan bertindak Musashi: pedang pembawa kedamaian, pedang kayu, pengosongan pikiran, dan lingkaran.
Yang terakhir adalah prinsip Bushido Musashi dalam menaklukkan musuhnya: keberanian,  kehormatan, sopan-santun dan kebajikan, kejujuran dan ketulusan hati, serta pengendalian diri dan ketulusan hati.


DAFTAR RUJUKAN
 King, Winston L. 1993. Zen and the Way of the Sword. New York: Oxford University Press.
Nitobe, Inazo. 2000. Bushido. Tokyo:Kodansha.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Sastra. Yogyakarta: Gajahmada University Press.
Sunarto. 2001. Metodologi Penelitian Ilmu-ilmu Sosial & Pendidikan. Surabaya:Unesa University Press.
Wellek, Rene. dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusasteraan diindonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wilson, William Scott. 2006. The Lone Samurai Kehidupan Miyamoto Musashi dialihbahasakan oleh Bernard Hidayat. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama.
Yoshikawa, Eiji. 2001. Miyamoto Musashi dialihbahasakan oleh Tim Kompas. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.

CLICK menuju DAFTAR ISI atau menuju ADI, bisa juga menuju AMBARA


Technorati Tag characterization, Bushido, Musashi,  karakterisasi, Bushido, Musashi

ARTIKEL 6 (Amrin Batubara)

Refleksi Budaya dan Retorika
dalam Upaya Membangun Karakter Bangsa

Amrin Batubara
Fakultas Bahasa dan Sains Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Abstract: This article aims to explain the degradation of social and cultural conditions and the deterioration of national character as well as efforts to build a strong character through the reflection of the nation's culture and rhetoric. By having the nation's cultural awareness and the mastery of rhetoric of good practice, the Indonesian people will be able to perform cultural dialogues with  cultures  that come  from outside. With the ability to practice the rhetoric of excellence in various dialogues, the Indonesian people will be able to pick and choose elements of foreign cultures that can enrich our own culture. With awareness and understanding of their own culture, people will avoid the possibility of taking for granted another culture without the selection process, or rejecting it a priori. With awareness and understanding of Indonesian culture, the spirit of patriotism will be able to bring Indonesia into a developing Indonesia, fair and prosperous Indonesia and stay in the national character. Reviving the spirit of patriotism should be our common endeavor, because basically everyone wants his life meaningful, and bring  grace to the community at large. Whisper of the heart of it all is to embody the spirit of patriotism and thus our nation will become a nation that has a noble spirit and strong character.

Keyword: national character, culture, rhetoric, reflection, patriotism

Abstrak: Artikel ini bertujuan untuk memaparkan degradasi kondisi sosial budaya dan keterpurukan karakter bangsa serta upaya untuk membangun karakter bangsa yang kuat melalui refleksi budaya dan Retorika. Dengan memiliki kesadaran dan pemahaman budaya bangsa dan penguasaan praktek Retorika yang baik, bangsa Indonesia akan mampu melakukan dialog kebudayaan bangsanya dengan budaya yang datang dari luar. Dengan kemampuan praktek retorika yang prima dalam berbagai dialog, masyarakat akan dapat memilah dan memilih unsur budaya luar yang dapat memperkaya budaya sendiri. Dengan kesadaran dan pemahaman budaya sendiri, masyarakat akan terhindar dari kemungkinan menerima begitu saja budaya lain tanpa proses seleksi, atau menolaknya secara apriori. Dengan kesadaran dan pemahaman budaya Indonesia, semangat patriotisme akan dapat mengantar Indonesia menjadi Indonesia yang maju, adil dan sejahtera dan tetap berkarakter Indonesia. Membangkitkan kembali semangat patriotisme perlu menjadi ikhtiar kita bersama, karena pada dasarnya semua orang dalam lubuk  hatinya  yang  paling dalam ingin hidupnya berarti, bermakna, membawa rahmat bagi masyarakat luas. Itu semua adalah bisikan hati untuk mewujudkan semangat patriotisme dan dengan demikian bangsa kita akan menjadi bangsa yang memiliki akhlak yang mulia dan karakter yang kuat.

Kata kunci: karakter bangsa, budaya, retorika, renungan, patriotisme.



PENDAHULUAN
Dalam era globalisasi sekarang ini, yang melintas bebas dari satu negara ke negara lain tidak saja produk, jasa, dan dana, namun juga budaya bangsabangsa. Dengan memiliki kesadaran dan pemahaman budaya bangsa serta kemampuan praktek retorika yang prima dalam berbagai dialog, masyarakat akan dapat memilah dan memilih unsur budaya luar yang dapat memperkaya budaya sendiri. Dengan kesadaran dan pemahaman budaya sendiri, masyarakat akan terhindar dari kemungkinan menerima begitu saja budaya lain tanpa proses seleksi, atau menolaknya secara apriori. Dengan kesadaran dan pemahaman budaya Indonesia, semangat patriotisme akan dapat mengantar Indonesia menjadi Indonesia yang maju, adil dan sejahtera dan tetap berkarakter Indonesia.
Merenungkan perkembangan kehidupan manusia dalam  kebudayaan dan Retorika dewasa ini menjadi relevan.  Refleksi perkembangan budaya dan Retorika tersebut serta pengaruhnya terhadap suasana kehidupan manusia di dunia sekarang ini dan tantangan tantangan yang ditimbulkannya bagi masyarakat Indonesia dan bagaimana  sebaiknya kita menanggapi tantangan tersebut sangatlah kita butuhkan saat ini dalam rangka merestorasi dan membangun karakter bangsa Indonesia.

MANUSIA DAN KEBUDAYAAN
Salah satu aspek yang membedakan kehidupan manusia dengan makhluk lainnya adalah kebudayaan. Ummat manusia hidup dalam budaya yang unik dan khas yang mencerminkan ciri-ciri setiap kelompok masyarakat yang hidup di dalam suatu wilayah.
Para pakar mengemukakan berbagai definisi tentang kebudayaan sebagai berikut. Menurut Koentjaraningrat (2003:1-5) kebudayaan dapat dipahami sebagai  totalitas dari pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan oleh karena itu, kebudayaan  hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar. Menurut pemahaman ini kebudayaan terdiri dari tujuh unsur, yaitu: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem teknologi dan peralatan. Definisi kebudayaan ini mencakup lingkup yang sangat luas. Dalam definisi ini, sistem pengetahuan dan teknologi adalah bagian kebudayaan.
Disamping itu kita dapat menyaksikan bahwa ada tiga wujud kebudayaan itu, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ideide, gagasan, nilainilai, normanorma, dan peraturanperaturan; wujud kebudayaan sebagai kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan wujud kebudayaan sebagai bendabenda hasil karya manusia.
 Sementara itu Hopstede (2005:7) mendefinisiskan kebudayaan itu sebagai  motif, tatanilai, kepercayaan bersama, dan makna atau interpretasi dari suatu peristiwa yang merupakan hasil dari pengalaman bersama dari anggota suatu kelompok yang dialihkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Dalam pemahaman ini  tata nilai ditempatkan sebagai inti dari budaya.
Dalam definisi-definisi tersebut diatas, nilainilai selalu dipandang sebagai bagian penting dari kebudayaan. Nilai-nilai ini menjadi acuan bertingkah laku dalam suatu masyarakat.
Berkaitan dengan sistem nilai ini, kita menemukan berbagai klasifikasi yang dikemukakan berbagai ahli kebudayaan. Menurut Edward Spranger dalam Alisjahbana dkk. (1991:6-8)  nilainilai dapat diklasifikasikan menjadi enam jenis, yaitu nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetik, nilai kuasa, nilai solidaritas, dan nilai agama.
Sementara itu, Sutan Takdir Alisyahbana (1991: 6-9) mengklasifikasi kan masyakat dengan nilai teori dan nilai ekonomi yang kuat sebagai kebudayaan progresif, dan kebudayaan yang sangat menghargai perasaan, intuisi, dan imajinasi sebagai masyarakat ekspresif.
Budaya dapat juga dimaknai sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk sosial menjadi penghasil sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan; akan tetapi juga dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan yang telah dihasilkannya.
Berdasarkan pemahaman di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa ketika kehidupan manusia terus berkembang, maka yang berkembang sesungguhnya adalah kebudayaannya yang tercermin dalam sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni. Salah satu usaha untuk mengembangkan kebudayaan tersebut adalah pendidikan yang merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi budaya peserta didik, sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang.
Unsur kebudayaan yang membuat manusia benarbenar berbeda dari makhlukmakhluk lain adalah konsep ‘kebajikan’ (virtues).  Menurut Patterson dan Seligman (2004:13, 29-30), kebajikan adalah karakteristik utama yang sangat dihargai oleh para filosof moral dan pemikirpemikir besar agama. Menurut hasil penelitiannya tentang agamaagama dan kebudayaan yang sangat berpengaruh di muka bumi ini, ada enam dimensi kebajikan yang bersifat universal, yaitu: transendensi,  kemanusiaan, kearifan dan pengetahuan, keadilan,  keberanian, dan pembatasan diri.
Apabila kebajikan-kebajikan tersebut diatas dijalankan dan dikembangkan dengan sungguh-sungguh  sehingga menjadi budaya dan kebiasaan dalam kehidupan keseharian setiap individu suatu bangsa, maka kebajikan-kebajikan tersebut akan menjadi karakter dari setiap individu dari bangsa tersebut yang dapat menjadi landasan dan sarana untuk menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat luas dan menghindarkan kemungkinan perkembangan kebudayaan bangsa yang membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia.
Ciri khas dari masyarakat yang hidup di kotakota besar dalam era globalisasi ini diantaranya adalah, secara tidak langsung  mereka bergaul dengan orangorang dari seluruh dunia, dan salah satu jembatan untuk pergaulan dunia ini adalah layar televisi, disamping internet bagi mereka yang terlatih memakainya. Aliran informasi yang beragam melalui layar televisi dan internet tersebut sangat sarat muatan nilainilai budaya yang berasal dari bagian dunia yang lain, dan sebagian dari nilainilai itu mungkin sekali asing bagi orangorang yang menerimanya, dan bahkan kadangkadang dirasakan bertentangan, sehingga dunia yang tanpa batas secara tidak disadari telah menimbulkan tarikan keberbagai arah dalam hal tata nilai budaya.
Disamping itu, kemajuan teknologi, khususnya teknologi komunikasi dan informasi juga telah menyebabkan interaksi antar budaya yang makin intensif. Dalam interaksi ini akan terjadi proses saling mempengaruhi. Budaya yang kuat dan dikomunikasikan secara efektif akan menembus dan melarutkan budaya lain yang kurang kuat dan tidak terkomunikasikan dengan baik. Dalam era dunia tanpa batas ini ada risiko suatu kelompok akan terseret budaya lain dan kehilangan identitas budayanya sehingga melemahkan karakter kelompok tersebut.
                          
KEBUDAYAAN DAN RETORIKA
Dalam kaitannya permasalah yang dikemukakan diatas perlu melakukan refleksi budaya dan Retorika dalam kehidupan sosial manusia. Budaya atau kebudayaan atau ‘culture’ dalam bahasa Inggris mencakup ruang lingkup yang luas dan didefinisikan beragam oleh para pakar dari berbagai disiplin ilmu sosial sehingga sulit menemukan suatu definisi yang berterima untuk semua kalangan.
 Duranti (1997: 252-255), kebudayaan dapat dilihat sebagai agregat pengetahuan, modus komunikasi, atau sistem partisipasi sosial. Dijelaskan bahwa budaya itu mencakup beberapa komponen dan salah satu komponen yang terpenting adalah bahasa. Dalam hal ini, bahasa sebagai bagian terpenting dari budaya dan dipandang sebagai alat sosial, modus berpikir, dan praktek budaya itu sendiri.
Disamping itu, hubungan antara budaya dan bahasa adalah bersifat dinamis dan saling mempengaruhi. Bahasa sebagai alat untuk mengkomunikasikan unsur-unsur budaya yang lain senantiasa berinteraksi secara dinamis dan terus menerus dengan budaya yang melingkupinya. Menurt Safir-Wolf (1921: 8-10), bahasa pertama menentukan pola pikir dan tingkah laku kita dalam interaksi verbal yang berarti bahasa itu menentukan modus budaya.
Selanjutnya Hudson (1980:25) juga menjelaskan bahwa nilai-nilai budaya yang kita anut akan tercermin dalam tingkah laku kebahasaan, dan tingkah laku kebahasaan ini sering disebut sebagai tingkah laku retoris. Dalam hal ini Retorika dipahami sebagai penggunaan bahasa dalam konteks tertentu, dan secara fundamental Retorika itu dapat dianggap sebagai perwujudan bahasa dalam kaedah-kaedah komunikasi budaya manusia yang memungkinkan kita saling mentransfer gagasan.         Kurangnya kesadaran akan wujud Retorika yang disepakati secara tacit dapat menyebabkan gangguan berkomunikasi. Gangguan ini dapat  berupa kegagalan komunikasi. Kegagalan komunikasi ini dapat disebabkan penggunaan Retorika yang keliru atau salah terap.  Ketidaktahuan bagaimana meng gunakan Retorika yang tepat kepada khalayak yang tepat dapat mengarah ke konflik Retorika. Konflik Retorika berarti kegagalan komunikasi dan kegagalan dalam berkomunikasi tentu dapat menimbulkan komplek sosial yang serius.
            Menurut Plato, Retorika itu mengacu pada suatu kemampuan menggunakan bahasa dengan sempurna dan merupakan alat atau cara yang baik bagi seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang luas dan mendalam; sementara Aristoteles memandang Retorika sebagai suatu kemampuan memilih dan menggunakan bahasa dalam situasi tertentu secara efektif untuk mempersuasi orang lain dengan ketiga modus persuasi, yakni: pathos, ethos dan logos.
            Menurut Golden dkk. (1993:13), Retorika adalah studi tentang bagaimana seseorang mempengaruhi orang lain untuk membuat pilihan secara bebas. Jadi Retorika  mempelajari tetang cara berbicara yang indah dan efektif untuk membangkitkan simpati dan mendapatkan kerelaan dari para pendengar. Hal ini senada dengan definisi Retorika yang disajikan Encyclopedia Britanica (1956: 314), yakni: ‘Rethoric is the art of using language in such a way as to produce a desired  impression upon the hearers or readers’.
Sebagaimana tesis yang disampaikan oleh Sapir-Whorf  di atas bahwa bahasa pertama menentukan pola pikir dan tingkah laku kita dalam interaksi verbal, dan dikaitkan dengan pemahaman budaya yang disampaikan oleh Duranty (1997: 1) yang menyatakan bahwa budaya adalah agregat pengetahuan, modus komunikasi, atau suatu sistem partisipasi sosial, dan bahasa dianggap sebagai suatu bagian yang terpenting dari kebudayaan, yakni sebagai modus berpikir, alat sosial dan praktek budaya, maka kita dapat menyimpulkan bahwa bahasa (berwujud Retorika dalam penggunaannya) saling terkait dengan budaya dan hubungan diatara keduanya bersifat dinamis dan saling mempengaruhi (hubungan dialektis). Dengan demikian Retorika dapat mempengaruhi cara berpikir dan praktek budaya dan oleh karenanya sangat berperan di dalam membentuk dan membangun karakter suatu bangsa.

KARAKTER BANGSA
            Selanjutnya perlu merefleksikan hakekat karakter. Secara etimologis karakter berasal dari bahasa Yunani ‘kasairo’ yang berarti cetak biru, atau format dasar, atau sidik seperti yang digunakan dalam frase sidik jari. Dalam hal ini karakter adalah sesuatu yang dianugrahkan. Menurut Mounier (1956:113), karakter dapat dipahami sebagai dua hal. Pertama, karakter dipahami sebagai sekumpulan kondisi yang telah diberikan atau dianugrahkan kepada diri kita; karakter yang demikian itu dianggap sebagai suatu kodrat. Dalam pemahaman kedua, karakter dianggap sebagai tingkat kekuatan yang dimiliki yang membuat seseorang mampu menguasai kondisi tertentu. Karakter seperti ini dianggap sebagai suatu proses yang dikehendaki. Menurut Kusuma (2007:28), orang yang berkarakter adalah orang yang merancang dan membangun masa depannya sendiri, dan ia tidak mau dikuasai kondisi kodratnya yang menghambat pertumbuhannya; ia senantiasa menguasai dan mengembangkannya demi kesempurnaan kemanusiaannya.
            Karakter dapat juga dipahami sebagai paduan segala tabiat yang bersifat tetap atau watak dan menjadi ciri khusus yang membedakan seseorang dengan orang lain. Karakter itu timbul sebagai akibat proses ajar, dan oleh karenanya sering disebut sebagai pendidikan karakter. Ki Hajar Dewantara (1877:408) menyatakan bahwa karakter itu adalah perimbangan yang tetap antara hidup batiniah dengan segala macam perbuatannya. Oleh karena itu karakter itu menjadi sendi di dalam kehidupan yang selalu mewujudkan perangai seseorang.
            Karakter dari sudut pandang psikologis dan etis, dapat dicermati dari tingkah laku  ketika seseorang berinteraksi. Secara psikologis karakter dapat diartikan sebagai sifat-sifat yang nampak dan seolah-olah mewakili pribadi seseorang; sementara ditinjau dari sudut etika, karakter dapat dipahami sebagai nilai-nilai yang baik dan menunjukkan sifat-sifat yang selalu dapat dipercaya, sehingga orang yang berkarakter itu menunjukkan pendirian yang teguh, dan memiliki sifat baik, terpuji dan dapat dipercaya.
            Dari pemahaman karakter diatas dapatlah dijelaskan bahwa karakter bangsa itu mengacu pada ciri khas dan sikap suatu bangsa yang tercermin pada tingkah laku dan pribadi setiap warga suatu bangsa. Karakter tersebut dapat mencakup sifat-sifat yang dianugerahkan maupun sesuatu yang diusahakan oleh suatu bangsa. Oleh karena itu, karakter suatu bangsa sangat tergantung pada kemauan atau usaha sungguh-sungguh dari pemerintah atau suatu negara. Hal ini disebabkan, karakter bangsa selain sifat-sifat yang dianugrahkan juga merupakan jati diri yang dibangun sesuai dengan visi dan ideologi yang dimiliki suatu negara.
Lebih jauh dapat dijelaskan bahwa karakter bangsa adalah kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang khas baik yang tecermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara sebagai hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau sekelompok orang. Karakter bangsa Indonesia akan menentukan perilaku kolektif kebangsaan Indonesia yang khas, baik yang tecermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara Indonesia yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila, norma UUD 1945, keberagaman dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen terhadap NKRI.
Dalam hal ini, karakter bangsa yang sangat fundamental dan perlu dibangun secara terus menerus agar tidak luntur dipengaruhi oleh derasnya pengaruh budaya luar diantaranya adalah kebangsaan yang telah dimiliki sejak dicetuskannya Sumpah Pemuda 1928. Sumpah ini menegaskan bahwa Indonesia adalah satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa.
Pada masa lalu, para pendiri bangsa ini melakukan proses menjadi bangsa Indonesia dimulai dari para elite dengan proses sukarela. Masing-masing menyatakan dirinya lalu mencari unsur-unsur yang bisa dipakai sebagai pangkal tolak bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia dibangun atas dasar prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan. Nilai-nilai luhur yang tersimpan dalam prinsip tersebut menjadi harapan para pendiri bangsa ini untuk dijadikan sebagai karakter bangsa Indonesia. 

KRISIS KARAKTER BANGSA
Persoalan budaya, Retorika dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Sorotan itu mengenai kemerosotan berbagai aspek kebudayaan dan  tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di baik media cetak maupun elektronik. Selain di media massa, para pemuka masyarakat, para ahli, dan para pengamat sosial, dan pengamat pendidikan juga berbicara mengenai persoalan degradasi budaya di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa,  kehidupan politik yang tidak produktif, kehidupan ekonomi yang konsumtif, dan tata krama serta kesantunan berkomunikasi yang menyimpang sebagai jelmaan konflik kemerosotan budaya bangsa menjadi topik pembahasan hangat di media massa, seminar, dan di berbagai kesempatan. Berbagai alternatif penyelesaian telah banyak dikemukakan dan diajukan, seperti: memberlakukan berbagai peraturan dan undang-undangan, serta peningkatan upaya penerapan hukum yang lebih kuat.
Namun, krisis yang dialami bangsa Indonesia ini, tidak hanya krisis sosial budaya atau ekonomi maupun politik, tapi lebih dari itu, bangsa kita tengah menghadapi krisis karakter. Berbagai peristiwa atau kejadian yang sering berlangsung dalam kehidupan sehari-hari yang kita saksikan melalui TV maupun media massa lainnya menunjukkan betapa bangsa kita tengah mengalami degradasi karakter.
Seiring perjalanan waktu moral bangsa terasa semakin amburadul, huru-hara dan kesewenangan terjadi di mana-mana, tata krama pun hilang, nyawa seperti tak ada harganya, korupsi menjadi-jadi bahkan telah dilakukan terang-terangan dan berjamaah. Berbagai bentuk kerusuhan yang diikuti penjarahan, dan pembunuhan terjadi di berbagai daerah. Masyarakat Indonesia seperti kehilangan prinsip dan nation dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, konsep Bhineka Tunggal Ika sudah mulai luntur dari jiwa-jiwa generasi penerus bangsa ini. Fenomena ini bisa terjadi disebabkan  masyarakat Indonesia sedang mengalami Crisis Nation Character.
Krisis karakter yang dialami bangsa saat ini disebabkan kerusakan individu-individu masyarakat yang terjadi secara kolektif sehingga terbentuk budaya atau kebiasaan. Budaya inilah yang telah menginternal dalam sanubari masyarakat Indonesia dan menjadi karakter bangsa. Sehubungan dengan degradasi karakter bangsa ini, Mochtar Lubis mengemukakan ciri manusia Indonesia yang antara lain: munafik, segan dan enggan bertanggung jawab,  berjiwa feodal,  percaya tahayul,  artistik,  berwatak lemah (cengeng), tidak hemat,  kurang gigih, serta  tidak terbiasa bekerja keras. Kita tidak dapat sepenuhnya membenarkan  pernyataan itu, namun jujur kita mengakui bahwa ciri yang di kemukakan diatas jelas merupakan gejala atau kecenderungan umum yang sedang berkembang ditengah masyarakat Indonesia saat ini dan cenderung membentuk karakter yang permanen.
Terlepas dari itu semua apakah mentalitas bangsa merupakan warisan penjajah feodal atau justru merupakan kegagalan pendidikan Indonesia dalam membentuk karakternya, pendidikan seharusnya menjadi media pencerahan atau perbaikan sekaligus pembentukan karakter masyarakat Indonesia sesungguhnya. Pertanyaan yang muncul adalah, apa yang telah dilakukan sistem pendidikan kita selama ini?
Mencermati pertanyaan ini, dalam konteks memahami fenomena tersebut diatas, menjadi menarik apa yang disarankan UNESCO bahwa pendidikan harus mengandung tiga unsur, yakni: belajar untuk tahu (learn to know);  belajar untuk berbuat (learn to do); dan belajar untuk hidup bersama (learn to live together). Unsur pertama dan kedua lebih terarah membentuk having, agar sumber daya manusia mempunyai kualitas dalam pengetahuan dan keterampilan atau skill. Unsur ketiga lebih terarah kepada being menuju pembentukan karakter bangsa. Dewasa ini, unsur itu menjadi amat penting untuk membangkitkan rasa nasionalisme yang kuat; menanamkan etika berkehidupan bersama, termasuk berbangsa dan bernegara; pemahaman hak asasi manusia secara benar, menghargai perbedaan pendapat, tidak memaksakan kehendak, pengembangan sensitifitas sosial dan lingkungan dan sebagainya, merupakan beberapa hal dari unsur pendidikan melalui belajar untuk hidup bersama. Pendidikan dari unsur ketiga ini, sudah semestinya dimulai sejak pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi.
Ditengahtengah kecenderungan global seperti yang telah disampaikan di atas, Indonesia sebagai sebuah negara menghadapi beberapa masalah spesifik yang terjadi sebagai implikasi dari kebijakan dan proses pembangunan yang dilakukan di masa lalu. Diantara masalah tersebut adalah tingkat pendidikan yang relatif rendah, sumberdaya alam yang makin berkurang, makin menonjolnya sikap kekamian, dan korupsi.
Seperti kenyataan yang terjadi, sejak awal tahun 1970an di Indonesia berkembang suatu praktek baru, yaitu praktek korupsi. Praktek ini, yang pada awalnya dimulai di kalangan mereka yang memegang jabatan dalam birokrasi, dengan cepat berkembang menjadi kebiasaan baru. Kebiasaan ini menyebar luas dari atas ke bawah, ke seluruh wilayah negara. Saking meluasnya korupsi, Bung Hatta, salah seorang Proklamator Kemerdekaan RI, pernah menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya. Nampaknya yang beliau maksud adalah bahwa korupsi sudah menjadi kebiasaan yang diterima sebagai suatu hal yang wajar.
Praktek korupsi telah mengakibatkan sumberdaya yang dimiliki negara telah mengalir kepada sekelompok orang yang tidak pantas mendapatkannya; dan justru sebagian besar rakyat yang berhak menikmatinya terabaikan. Hal ini adalah salah satu bentuk ketidakadilan. Praktek korupsi telah melemahkan daya saing ekonomi, daya saing negara dan bahkan merusak kredibilitas bangsa.

UPAYA MEMBANGUN  KARAKTER  BANGSA
Pembangunan Karakter Bangsa adalah upaya kolektif-sistemik suatu negara kebangsaan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan dasar dan ideologi, konstitusi, haluan negara, serta potensi kolektifnya dalam konteks kehidupan nasional, regional, dan global yang berkeadaban untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, patriotik, dinamis, berbudaya, dan berorientasi Ipteks berdasarkan Pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pembangunan karakter bangsa dilakukan secara koheren melalui proses sosialisasi, pendidikan dan pembelajaran, pemberdayaan, pembudayaan, dan kerja sama seluruh komponen bangsa dan negara.
Dalam rangka merestorasi dan membangun karakter bangsa ini, kita perlu memahami faktor faktor utama yang menyebabkan bangsa kita menghadapi permasalahan sekarang ini.
Salah satu penyebab utamanya adalah surutnya atau lunturnya patriotisme. Lunturnya patriotisme di masyarakat akan menyebabkan meningkatnya kemunafikan, surutnya ketulusan, meningkatnya kecenderungan mengambil dari pada memberi dan bahkan mengambil yang bukan haknya, meningkatnya kecenderungan mengu tamakan kepentingan diri atau kelompok yang sempit di atas kepentingan masyarakat luas atau di atas kepentingan bangsa.
Patriotisme tidak hanya diperlukan dalam perjuangan fisik merebut kemerdekaan, namun diperlukan juga dalam upaya pembangunan kebudayaan, serta merestorasi dan membangun karakter bangsa Indonesia yang kuat. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan patriotisme adalah niat yang diwujudkan dalam tindakan yang didasari integritas untuk berkontribusi secara ikhlas demi kemaslahatan masyarakat luas.
Patriotisme sesungguhnya bukanlah barang baru di Indonesia. Ini telah ditunjukkan oleh  para leluhur pejuang kemerdekaan yang bahkan berani mempertaruhkan nyawanya. Sekarang ini patriotisme tidak hilang dari bumi Indonesia, namun hanya sedang surut dan melemah. Kita masih dapat menyaksikan dan merasakan bahwa jiwa kejuangan tersebut masih menyala, walaupun di lingkungan yang sangat luas mungkin memudar. Jadi tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia dan generasi muda Indonesia khususnya dalam menyongsong masa depan adalah melakukan revitalisasi atau membangkitkan kembali jiwa kejuangan dan karakter bangsa Indonesia yang kuat di semua sektor kehidupan.
Patriotisme yang diperlukan sekarang adalah patriotisme yang membuat bangsa Indonesia lebih maju, lebih sejahtera, lebih berkeadilan dan mampu menjadi salah satu bangsa yang berkarakter dan terpandang di tengah tengah bangsa lain di dunia. Isi dari patriotisme tersebut terutama diantaranya: kejujuran, optimisme, semangat belajar, kerja keras, semangat berkontribusi, dan  tanggung jawab sosial. Hal ini dimaksudkan agar individu-individu setiap komponen bangsa ini melakukan sesuatu yang membawa kemaslahatan bagi masyarakat luas.  Maju bersama dalam kebhinekaan dan membangun citacita bersama, serta menjadikan kebhinekaan sebagai sumber kekuatan dan salah satu ciri karakter bangsa Indonesia.
Dewasa ini, menumbuhkan dan mengembangkan semangat patriotisme yang diharapkan sebagai karakter kuat setiap individu bangsa ini, tidak bisa dilakukan hanya dengan memasukkan seseorang dalam program indoktrinasi, atau penataran. Semangat patriotisme yang sehat dan karakter yang kuat dapat tumbuh secara alami, bersemi dari kesadaran, dari kepekaan, dari keyakinan dan rasa tanggung jawab sosial; dan semangat patriotisme sebagai  salah satu ciri karakter kuat bisa berupa suatu himpunan kebajikan yang tumbuh dan berkembang karena terjadinya proses belajar. Dalam proses belajar ini, lingkungan pendidikan memegang peran penting.
Berbagai lingkungan pendidikan, seperti lingkungan pendidikan di rumah, di sekolah, pergaulan dengan teman sejawat, buku, media, sangat mempengaruhi wawasan dan sikap seseorang. Semangat patriotisme akan lebih mudah berkembang dalam lingkungan pendidikan yang berorientasi pada pengembangan karakter.
Pendidikan karakter bukanlah barang baru di Indonesia. Para pendiri bangsa ini telah menyiapkan bangsa Indonesia untuk berjuang mencapai kemerdekaan melalui pendidikan karakter. Mereka membangun kepercayaan diri rakyat Indonesia, membangun optimisme, keberanian, kerelaan berkorban, dan semangat kekitaan. Bahkan sesudah kemerdekaan, dalam pidato kenegaraan tanggal 17 Agustus 1957 Bung Karno menekankan pentingnya nation building dan character building bagi Indonesia. Negara tetangga kita di Asia, RRC, setelah terpuruk oleh Revolusi Kebudayaan, membangun kembali kejayaannya pada akhir abad ke 20, dengan meningkatkan kualitas rakyatnya melalui pendidikan karakter. Di belahan bumi yang lain, lebih dari dua ribu tahun yang lalu Cicero, seorang filosof dan negarawan Yunani menyatakan bahwa ’kesejahteraan suatu bangsa ditentukan oleh karakter warga negaranya’.
Mencermati berbagai definisi diatas, karakter dapatlah kita maknai sebagai watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan itu sendiri mencakup sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi setiap individu bangsa ini dengan orang lain yang dilandasi pemahaman karakter tersebut di atas dapat menumbuhkan karakter masyarakat atau karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial, budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila; jadi pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peserta didik melalui pendidikan otak, hati, dan fisik.
Dengan merefleksikan budaya dan praktek Retorika dalam usaha membangun karakter bangsa seperti dipaparkan diatas, diharapkan khususnya para lulusan perguruan tinggi, sebagai agen pencerah dan pembaharuan budaya bangsa yang akan menyebar di seluruh penjuru tanah air tercinta ini, memahami dan menghayati serta mampu menerapkan  nilai-nilai luhur yang tercermin dalam ciri-ciri atau indikator karakter yang kuat, yakni:
Menguasai, menghayati dan mampu menerapkan nilai religius dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini mengacu pada sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
Menguasai, menghayati dan mampu menerapkan nilai kejujuran dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini berarti selalu berperilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
Menguasai, menghayati dan mampu menerapkan nilai toleransi dalam perilaku kesehariannya. Hal ini mengacu pada sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
Menghayati dan mampu menerapkan kedisiplinan dalam perbuatan atau tindakan-tindakan sehari-harinya. Hal ini berarti selalu bertindak dan berbuat sesuatu dengan menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
Menghayati dan menggemari kerja keras dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini mengacu pada perilaku yang selalu menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar atau tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
Menghayati dan mampu menerapkan nilai kreatifitas dalam kehidupan kesehariannya, yakni: berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
Menghayati dan mampu menerapkan nilai kemandirian dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini mengacu pada sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
Menguasai, menghayati dan mampu menerapkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan kesehariannya, yakni cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
Memiliki  rasa keingintahuan dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini mengacu pada sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
Menghayati dan mampu menerapkan semangat kebangsaan dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini berarti selalu menunjukkan cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
Memiliki rasa cinta tanah air dalam kehidupan kesehariannya, yakni: cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
Menghargai suatu prestasi dalam usaha-usaha kesehariannya. Hal ini mengacu pada sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
Menghayati dan menerapkan nilai persahabatan dalam kehidupan kesehariannya, yakni: tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
Menghayati dan mencintai kedamaian dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini mengacu pada sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
Memiliki kegemaran membaca dalam kehidupan kesehariannya, yakni: kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
Memiliki keperdulian terhadap lingkungan dalam kehidupan kesehariannya, yakni: sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
Memiliki keperdulian sosial dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini mengacu pada sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
Memiliki rasa tanggung-jawab dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini mengacu pada sikap dan perilaku yang konsisten dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

KESIMPULAN
Dengan demikian dapatlah di rangkum bahwa dalam era globalisasi sekarang ini, yang melintas bebas dari satu negara ke negara lain tidak saja produk, jasa, dan dana, namun juga budaya bangsabangsa. Dengan memiliki kesadaran dan pemahaman budaya bangsa dan penguasaan praktek Retorika yang baik, suatu bangsa akan mampu melakukan dialog kebudayaan bangsanya dengan budaya yang datang dari luar.
Dengan kemampuan praktek retorika yang prima dalam berbagai dialog, masyarakat akan dapat memilah dan memilih unsur budaya luar yang dapat memperkaya budaya sendiri.
Dengan kesadaran dan pemahaman budaya sendiri, masyarakat akan terhindar dari kemungkinan menerima begitu saja budaya lain tanpa proses seleksi, atau menolaknya secara apriori, dan dengan kesadaran dan pemahaman budaya Indonesia, semangat patriotisme akan dapat mengantar Indonesia menjadi Indonesia yang maju, adil dan sejahtera dan tetap berkarakter Indonesia.
Lawrence E. Harrison  menyata kan bahwa ’underdevelopment is a state of mind’. Sebab itu apabila mau keluar dari ketertinggalan dan kemerosotan moral anak bangsa yang sangat menghawatirkan ini, maka pertamatama yang perlu dibenahi adalah mentalitas bangsa (the nation’s state of mind).
Membangkitkan kembali semangat patriotisme dapat digelorakan sebagai bagian dari usaha pembenahan mentalitas tersebut. Membangkitkan kembali semangat patriotisme adalah tanggapan budaya terhadap perkembangan pengetahuan manusia serta makin intensifnya proses interaksi budaya antar bangsa sekarang ini.
Membenahi mentalitas memang bukan segalagalanya. Namun ini adalah penggerak mula atau penghela dari perubahan lain yang perlu dilakukan.
Membangkitkan semangat patriotisme sekarang ini agak berbeda dengan membangkitkan semangat patriotisme dalam merebut kemerdekaan. Sekarang patriotisme perlu diarahkan untuk merestorasi dan membangun terus karakter bangsa yang kuat melalui diantaranya mengalahkan diri sendiri, yakni mengalahkan kemunafikan, mengalahkan kebodohan, mengalahkan pesimisme, mengalahkan kemalasan, mengalahkan ketidakpedulian, mengalahkan keserakahan, dan mengalahkan kesombongan yang ada pada diri sendiri sebagai bagian dari masyarakat Indonesia.
Membangkitkan kembali semangat patriotisme perlu menjadi ikhtiar bersama, karena pada dasarnya semua orang dalam lubuk  hatinya  yang  paling dalam ingin hidupnya berarti, bermakna, membawa rahmat bagi masyarakat luas. Itu semua adalah bisikan hati untuk mewujudkan semangat patriotisme dan dengan demikian bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang memiliki akhlak yang mulia dan karakter yang kuat.


Daftar Pustaka

Aristotle, (in Jebb, R.C. 1909). The Art of Rhetoric. Cambridge: Cambridge University Press.
Brook, C., & Warren, R.P. (1970). Modren Rethoric. New York: Harcourt, Bruce & World.
Duranti, A. (1997). Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.
Guin and Marder (1986). A Spectrum of Rhetoric. Tronto:Little Brown Company.
Hofstede, G. and Gert Jan, G.F. (2005). Culture and Organization: Software of Mind. New York: McGraw Hill.
Hudson, R.A. (1980). Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Kuntjaraningrat (2003). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.
Kusuma, D.A. (2007). Pendidikan Karakter. Jakarta: Gramedia Widisarana Indonesia.
Mourner, E. (1956). The Character of Man. New York: Hamper and Brothers.
Peterson, Ch., and Seligman, M.E.P. (2004). Character Strengths and Virtues: A handbook of Classification. Oxford: Oxford University Press.
Robert J. House et.al, (2004). Culture, Leadership and Organization. New York: Sage Publication.
Sapir, E. (1921). Language: An Introduction to the Study of Speech. London: Harcourt Brace Jovanovich.
Soekarno (1965). Satu Tahun Ketentuan , Dibawah Bendera Revolusi , Jilid Kedua,
Cetakan Kedua. Jakarta: Panitya Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi.
Sutan Takdir Alisjahbana dkk. (1991). Menerawang Masa Depan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni. Bandung: Penerbit ITB.



CLICK menuju DAFTAR ISI atau menuju ADI, bisa juga menuju AMBARA


Technorati Tag national character, culture, rhetoric, reflection, patriotism, karakter bangsa, budaya, retorika, renungan, patriotisme